Minggu, 13 Juni 2010

BELAJAR MOTORIK (HUKUM LATIHAN DAN BELAJAR MOTORIK)



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Belajar gerak secara khusus dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan atau modifikasi tingkah laku individu akibat dari latihan dan kondisi lingkungan (Drowatzky, 1981).
Schmidt (1988), menyatakan bahwa belajar gerak mempunyai beberapa ciri yaitu:
a. Merupakan rangkaian proses
b. Menghasilkan kemampuan untuk merespon.
c. Tidak dapat diamati secara langsung, bersifat relative permanen
d. Sebagai hasil latihan
e. Bisa menimbulkan efek negative dalam belajar gerak, ada beberapa gerak dasar yang harus dikuasai oleh setiap anak usia dini.


Adapun gerak dasar yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:

Gagne, 1977:3 Belajar gerak adalah sebagai tingkah laku atau perubahan kecakapan yang mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu, dan bukan berasal dari proses pertumbuhan.

Romiszowski, 1988:253 Belajar gerak adalah belajar yang diwujudkan melalui respon – respon maskular, yang pada umumnya diekspedisikan dalam gerak tubuh atau bagian tubuh.

Rabb, 1972 Belajar gerak merupakan suatu pengaturan kembali pola gerak dasar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku gerak yang terjadia sebagai suatu hasil latihan.

Weineck,1983 : 71 Tugas utama dalam belajara gerak adalah penerimaan segala informasi yang relevan tentang gerakan-gerakan yang dipelajari kemudian mengolah dan menyusun informasi tersebut memungkinkan suatu realisai secara optimal.


B. Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis bahas di atas, agar makalah ini lebih mengarah dan tidak terlalu luas, maka penulis menarik suatu pembahasan dalam makalah ini yang berfokus pada masalah di antaranya:
1. Apakah Reinforcement dan umpanbalik itu?
2. Proses belajar: hukum laterm dan teori belajar motorik.

C. Tujuan
Penulis menyusun makalah ini dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Reinforcement dan umpanbalik serta Proses belajar: hukum laterm dan teori belajar motorik dalam mengahadapi masalah seperti dalam olahraga olahraga terhadap prestasi seorang atlet
2. Mengupayakan agar tugas dan peran pokok seorang pelatih untuk membangun keterampilan gerak seorang atlet dengan baik yang pada akhirnya tujuan utama prestasi olahraga bisa tercapai
D. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan orang yang bergelut didalamnya melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta mampu mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas dan mendorong adanya penemuan keilmuan


BAB II
PEMBAHASAN
A. REINFORCEMENT DAN UMPAN BALIK
Dalam beberapa bab prinsip dalam bidang kontrol motorik dari belajar motorik. Penguasaan prinsip¬-prinsip yang relevan dengan proses belajar akan sangat membantu para guru atau pelatih untuk meningkatkan efektivitas pengajaran atau kepe¬latihan. Tujuan dari kegiatan tersebut pada dasarnya ialah perubahan perilaku pada siswa atau atlet. Dan perubahan perilaku itu disebabkan karena siswa atau atlet yang bersangkutan aktif dan memberikan res¬pons terhadap seperangkat pengalaman atau tugas sebagai stimulus. Dalam.Bab 11 ini akan kita bahas konsep dan aplikasi reinforcement un¬tuk memperkuat "koneksi" antara rangsang dan respons. Berkaitan de¬ngan konsep reinforcement, kita bahas juga konsep dan pemanfaatan umpanbalik'(feedback) dalam proses belajar keterampilan motorik.
a. Pengertian Reinforcement dan Istilah Lainnya
Istilah reinforcement dan umpanbalik kadang-kadang dipahami se¬bagai dua,istilah yang sama pengertiannya. ineskipun tidak demikian. Bahkan ada lagi istilah lain yang agak mirip maknanya seperti hadiah, ppngetahuan tentang hasil, dan pengetahuan tentang penampilan. Pada suatu saat, beberapa istilah tersebut seperti serupa, namun dalam si¬tuasi lain sungguh berbeda pengertiannya.
Reinforcement berarti setiap kondisi, jika diikuti oleh suatu respons, meningkatkan peluang bahwa respons tersebut akan terjadi kembafi manakala rangsang yang sama diberikan (Oxendlne, 1984). Pada suatu saat, pemberian hadiah atau hukuman terhadap seorang siswa atau atlet misainya, dapat menghasilkan respons tertentu, sehingga hadiah atau hukuman itu dianggap sebagai reinforcement. Umpanbalik juga bisa ber-pengaruh demikian. Setelah disampaikan kepada siswa atau atlet, maka bisa terjadi suatu respons tertentu menyusul umpanbalik tersebut. Situasi demikianlah yang menyebabkan, seolah-olah kabursekali perbeda¬an antara beberapa-konsep tersebut.
Namun demikian, seperti dikemukakan Travers 0977), umpan-balik jatuh ke dalam kaje9ori reinforcement, jika is mengubah probabilitas suatu perilaku akan terulang atau berhenti sama sekali pada kejadian berikutnya. Sebalikwja', ada masanya bahwa beberapa faktor tersebut tak dapat dikaitkan dengan perilaku sposifik, dan karena itu tidak disebut sebagai reinforcer (dalam buku ini disebut unsur penguat). Karena itu, tak selalu hadiah atau hukuman berfungsi sebagai reinforcer yang efek¬tif. Sebagai contoh, berulang kali seorang siswa terlambat datang dalam pelajaran pendidikan olahraga meskipun pada setiap saat itu dia mempe¬roleh hukuman dari gurunya, umpamanya lari selama 12 menit. Hukum¬an tersebut tidak mempan untuk. membuat siswa yang bersangkutan. menghentikan kebiasaan datang terlambat. Sebaliknya, seorang pemain sepakbola yang merasa selalu berhasii menyelesaikan tendangan penal¬ty dengan pelan tapi terarah tepat, akan mengulang-ulang tehnik melak-sanakan tendangan hukuman itu dengan cara tersebut ketimbang de¬ngan tendangan keras. Cara menendang bola pelan tapi terarah itu ber¬fungsi sebagai sebuah unsur penguat sehingga dalam kesempatan ber¬IkutnYa, cara itu diulang-ulang kembali oleh pemain yang bersangkutan.
Unsur penguat itu ada yang berhentuk barang nyata, umpamanya makanan yang diberikan kepalda binatang untuk memuaskan perasaan¬nya terhadap pencapaian hasil Yang diharapkan. Dan bisa juga unsur penguat itu berupa perilaku tertentu. Sebagai contoh, setiap kali seorang pemain berhasii melakukan smes keras menyilang ke rusuk kiri lapa¬ngan lawannya dalam permainan bulitangkis, setiap kali itu pulp penon¬ton bertepuk tangan sebagai pertanda memberikan dukungan atau . ucapan selamat" atas keberhasilan pemain yang bersangkutan. Dalam kesempatan berikutnya, semakin riuh rendah tepuk tangan penonton, semakin sering pemain tersebut melakukan pola serangan tersebut. Ja- di, sambutan penonton merupakah sebuah unsur penguat terhadap pe-. munculan perilaku tertentu dari pemain tersebut. Kadang-kadang, ada pemain yang tidak menyadari keadaan tersebut, sehingga dia dirusak oleh penonton dengan cara memberikan sambutan tepuk tangan secara berencana agar pemain melakukan smash dengan pola yang sama. Pa¬dahal, dia tidak harus selalu berbuat demikian, sehingga akhirnya, di an¬tara sekian banyak serangannya itu, sebagian di antaranya gagal, seperti bola keluar, menyentuh faring, atau gampang dibaca.oleh lawan.
b. Umpanbalik
Baik dalam olahraga pendidikan maupun olahraga prestasi, pengeta¬huan tentang hasil yang dicapai dan pelaksanaan tugas gerak dalam suatucabang merupakan pencapaian tujuan yang diharapkan Informasi tentang hasil atau penam¬pilan dalam suatu cabang olahraga bermanfaat untuk membuat keputus¬an, khususnya dalam perencanaa.n lingkungan belajar atau berlatih yang efektif.
1. Klasifikasi Umpan Balik
Untuk memudahkan kita mengenai macam-macam umpanbalik yang terdapat dalam suasana mengajar atau melatih, ada baiknya hal itu diklasifikasi. Dan kita menyadari, tidak semua informasi berkaitan.lang¬sung dengan hasil pelaksanan gerak. Karena itu ada informasi yang relevan dan tidak relevan. Sebagai contoh, ketika kita ber¬jalan tak ada sangkut pautnya dengan gerakan kita dengan sears mobil atau ken¬daraan lainnya yang gaduh. Selanjutnya, jika ditelaah aspek kedatangan umpanbalik itu sendiri, kita dapat membuat klasifikasi menjadi (2) um¬panbalik sebelum tindakan berlangsung, dan (b) umpanbalik yang terse¬dia selarna atau sesudah tindakan selesai.
1.1. Umpanbalik intrinsik
Umpanbalik yang dihasilkan oleh gerakan yang telah dilakukan terba¬gi menjadi dub kategori yakni (1) umpanbalik intrinsik. dan (2) umpanbalik ekstrinsik. Setelah seseorang melakukan suatu gerakan dalam cabang olahraga tertentu, dia akan memperoleh informasi tentang beberapa as¬pek mengenai gerakannya sendiri melalui beberapa saluran informasi. Bentuk informasi tersebut sudah terkandung dalam respons teftentu. Sebagai contoh, saya mengetahui bahwa saya melakukan pukulan servi¬ce yang salah dalam permainan tenis setelah saya melihat bola keluar atau menyangkut pads faring. Demikian jugs halnya, tatkala punggung saya terhempas keras di air sesudah melakukan suatu gerakan dalam lo*ncat nclah; saya tahu ada gerakan yang salah. Kesimpulannya ialah, respons atau pelaksanaan dan hasil yang diperoleh merupakan cumber dari umpanbalik. Dan informasi tersebut terwujud dalam berbagai ben¬tuk. Apakah-umpanbalik intrinsik selalu kita sadari dan membutuhkan evaluasi? Tidak 'semua demikian. Kadang kala, saya tahu dan, saya lihat sendiri pukulan saya salah ketika menerima service keras dalam per¬.mainan tenis. Kesalahan yang terjadi serta merta saya ketahui dengan je-las. Namun ada pula umpanbalik intrinsik lainnya yang sukar dikenal, dan karena itu, si pelaku hares belajar untuk mengevaluasi.informasi dan as pek yang terdapat di dalamnya' Sebagai contoh, ketika seorang pese¬nam berlatih Salto ke depan. maka pads waktu berputar di udara dia m6-ngkin tak merasakan bahwa lututnya benar-benar ditekukan atau tidak.
Untuk mengetahui benar salahnya suatu gerakan seperti.dalam con¬toh tersebut di atas,. dibutuhkan tuhkan sebuah rujukan tentang gerakan yang benar. Karena itu, umpanbalik jntrinsik pada dasarnya ialah suatu infor¬masi yang diperoleh dengan membandingkan rujukan gerak yang telah dipelajari dengan apa yang baru saja dilakukan. Itulah sebabnya, proses deteksi kesalahan sendiri oleh si pelaku yang bersahgkutan caring dise- but reinforcement sublektif (Adams, 1971; Adams & Bray, 1970). Rupanya tanpa rujukan tentang benar salahnya suatu gerakan, berbagai bentuk umpanbalik intrinsik tak dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi kesalahan yang terjadi..
1.2. UmpanbaIik Ekstrinstik
Berbeda hainya dengan umpanbalik intrinsik (sudah melekat pada gerakan yang telah dilakukan), umpanbalik ekstrinsik adalah umpanbalik yang diperoleh tentang tugas gerak yang sifatnya sebagai pelengkap bagi sebagaiInformasi ekstrinsik, sebagian di antaranya ber¬upa informasi verbal, seperti catatan waktu dalam satuan detik atau mill- detik untuk .elan 'cepat 100 m, atau skor 1,00 10,00 untuk pesenam. S6orang pesenam yang memperoleh nilai 5,00 misainya akan dapat mengetahui, bahwa gerakan yang telah dilakukannya tergolong buruk, atau dia banyak melakukan kesalahan. Denjan demikian. skor kuantitatif itu dapatdiucapkan secara verbal, bahkan diuraikan lebih terinci sebagai informasi yang menunjukkan tingkat keberhasilan seseorang melaku¬kan suatu gerakan.
Umpanbalik seketika disampaikan pada waktu gerakan itu sedang dilakukan (misainya, informasi tentang kesa¬lahan posisi kaki ketika seorang pesenam sedang melakukan satu rang¬kaian gerakan dalam senam lantai), sementara umpanbalik terminal di¬berikan setelah seluruh gerakan selesai (misalnya, skor yang diperoleh pesenam). Aspek lain dari umpanbalik ekstrinsik yakni umpanbalik yang ditinjau dari saat penyampaiannya. Yang pertama disebut umpanbalik langsung dan umpanbalik tertunda. Umpanbalik itu ada yang berupa verbal (misalnya, komentar pelatih tentang benar salahnya suatu kesa¬lahan) dan non-verbal (misainya, berupa kode lambaian'bendera merah jika seorang pelari jarak 1500 m berlari dengan kecepatan melebihi "ira¬ma kecepatan" yang telah direncanakan pada setiap putaran.
Ada pula informasi umpanbalik yang terhimpun secara keseluruhan dari beberapa penampilan terdahulu yang kemudian disampaikan se- bagai.-gambara.n umum tentang penampilan. Kebalikannya ialah infor¬mal Umpanbalik yang disampaikan secara terpisah bagi setiap penampil¬an gerak.
Tentu saja, kesemua dimensi umpanbalik tersebut hares dianggap sebagai bagian yang tak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, sung¬guh mungkin, umpanbalik ekstrinsikyang disampaikan dalam waktu tertunda bisa berupa verbal atau nonverbal. Umpanbalik seketika bisa ber¬upa umpanbalik langsung atau tertunda. Pembagian yang dibuat seperti dalam Tabel 11-1 tali hanyalah sebagai deskripsi analitik dari umpanbalik yang telah dikenal dan bisa ditrapkan dalam kegiatari olahraga.
1.3. Pengetabuan tentang Hasil (HP)
Yang dimaksud dengan pengetahuan tentang hasil (PH) ialah informasi umpanbarik, balk yang bisa diungkapkan secara verbal maupun non-verbal; berkenaan dengan hasil atauoutcome dari suatu gerakan dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapal. Seteldh seorang siswa ber¬hasil melakukan Oukulan sines yang keras dalam permainan bola voli, dan guru yang bersangkutan mengatakan "pukulanmu keras dan timingnya tepat merupakan umpanbalik bersifat verbs yang disampaikan langsung setelah peragaan gerak selesai. Acungan jempol seorang pelatih kepada seorang pe.niain iepakbola yang berhasilinenembak bola dari
posisi sulit (misalnya, sudut tembakannya sempit d8n*penjagaan lawan ketat, juga merupakan umpanbalik hasil tapi bersifat nonverbal. Pemain yang d capainya amat bagus. Kedua contoh tersebut merupakan deskripsi lebih lanjut tentang dimensi umpanbalik tentang hasil yang bersifat independ6n, sating terkait dengan dimensi lain. Kadang-kadang, umpannbalik hasil lebih bersifat spesifik atau bersifat umum. Umpanba¬lik tentang hasil 6isajuga dianggap sebagai komponen hadiah, seperti dalam komentar pela tih "Sangat bagus."
Perlu ditegaskan di sini, pengertian umpanbalik tentang hasil jangan dikacaukan dengan umpanbalik tentang pelaksanaan.gerakan yang ber¬sangkutan (misalnya, lututmu bengkok waktu melakukan hand stand da¬lam senam ). Biasanya, kedua hat tersebut (has i) dan pola gerak) dapat di- pisahkan, meskipun sering terjadi, betapa sulit memisahka"nkedua ma-cam umpanbaliV tersebut. Bahkan, keduanya dianggap menjadi satu. Pengetahuan tentang hasil sering juga disebut umpanbalik informasi (Bilodeau, 1966), atau faktor penguat (reinforcement). Schmidt (1988) sendiri cenderung mengungkapkan pengertian pengetahuan tentang hasil sebagai umpanbalik ekstrinsik yang bersifat verbal, terminal, dalam kaitannya dengan pencapai"an snafu tujuan.
1.4. Pengetahuan tentang Penampflan (PP)
Dalam makalah ini istilah pengetahuan tentang penampilan (PP) diarti¬kan sebagai informasi umpanbalik yang berkenaan dengan pola..gerak Yang telah dilakukan seseorang (misalnya, kepalamu terlampau tegak; sikumu bengkok; lututmu )urus, dsb). Pengertian tersebut memudahkan kits untuk membedakannya dengan jenis umpanbalik (pengetahuan tentang hasi)). Karena berkenaan dengan pola gerak yang telah dilakukan si pelaku, maka sering terjadi, pola gerak itu sama sekali tak disadari oleh orang bersangkutan, sehingga perlu diberitahukan oleh orang lain. Dengan demikian, pengetahuan tentang penampilan gerak Yang sering kurang jelas bags siswa atau atlet pads dasarnya berupa umpanbalik yang disampaikan oleh guru atau pelatih dalam rangka memperbaiki kesalahan pola gerak untuk mencapai hasil yang lebih balk.' Ketidak mampuan siswa atau atlet menyadari penampilannyq.O~$jp.bab¬kan karena gerakan yang dilakukannya amat kompleks. Bahkan ada pula gejala biologic lainnya yang tak disadari atau dipahami oleh orang yang bersangkutan, sehingga perlu dijelaskan. Hal ini, tergolong biofeedback yang akan dibahas dalam bagian berikut rants.
Dalam pelaksana'an pengaiaran ' atau kepelatihan, pengetahuan tentang hasil dan tentang proses merupakan jenis umpanbalik yang sukar Sama, lain. Berdasarkan hasil yang diperoleh.
B. PROSES BELAJAR: HUKUM LATERM DAN TEORI BELAJAR MOTORIOK
Dalam masalah belajar juga akan dibahas tentang fenomena perubahan ke¬terampil, sekaligus pengungkapan teori belajar motorik yang dikem¬bangkan akhir-akhir ini dan memperoleh pengakuan yang meluas, seperti teori Schema dari Schmidt.
a. Perubahan dalam Penampilan dan Hukum Latihan (Practice)
Tak ada yang akan menolak, jika seseorang berlatih maka akan me¬ningkat penguasaan keterampilannya. Kadang-kadang peningkatan ter¬sebut tak begitu jelas, bahkan membutuhkan instrumen khusus untuk mengukur atau meng6matinya. Yang paling umum diterima ialah, bahwa ada kecenderungan yakni rata-rata peningkatan dalam keadaan besar dan cepat pads tahap awal, dan kemudian lambat lawn semakin.kecil ke¬tika latihan tetap terus dilanjutkan. Dengan kata lain, ada gejala bahwa meskipun latihan berlangsung terus penampilan akan menurun. Jadi meskipun seperti dalam Gambar 12-1 nampaK bahwa penampilan me¬ningkat, tapi kurva penampilan itu berkecenderungan merosot terus meskipun latihan tetap berkelanjutan. tentang keterampilan buruh pabrik melinting sigaret dengan tangan me- nunlukka' peningkatan terjadi setelah tujuh tahun dan setelah 100 juts batang. si aret. Rupanya, belajar itu tak pernah komplit, atau benar-benar tuntas, kendatipun-dalam tugas yang sederhana. Berkenaanan dengan hu- kum latihan tersebut tadi, perlu kita pahami, ' hukum tersebuthanyalah sebagai deskripsi mQgenai hubung3n antara jumlah trial dan penampil¬an, dan sama sekali tidak menjelaskan proses yang terjadi di batik bela¬jar..Penjelasan tentang proses belajar akan kita paparkan dalam bagian berikut nanti.
b. Tahap-tahap Belajar Motorik,
Ada kesamaan pendapat pc-a ahli, bahwa belajar keterampilan moto¬rik berlangsung melalui beberapa tahap. Fitts (1964); Fitts & Posner, 1967) telah membahas tahap- tahap belajar motorik yakni: (1) tahap kognitif, (2) tahap asosiatif, dan (3) tahap otomatis
1. Tahap Kognitif
Tatkala seserang barn mulai mempelajari sesuatu tugas; katakanlah keterampilan motorik, maka yang-meni3di pertanyaan baginya ialah, ba¬gaimana cara melakukan tugas itu. Dia membutuhkan informant meng¬enai cara melaksanakan tugas gerak yang bersangkutan. Karena itu, pe¬laksanaan tugas gerak itu diawali dengan penerimaan informasi dan pembentukan pengertian, termasuk bagaimana penerapan informasi atau pengetahuan yang diperoleh.
Pada tahap kognitif ini, sering juga terjadi kejutan berupa peningkat¬an yang besariika dibandingkan dengan kemajuan pads tahap-tahap ber¬ikutnya. Pada tahap itu juga, bukan mustahil siswa yang bersangkutan mencoba-coba dan kemudian sering juga salah dalam melaksanakan tu- gas germ. Gerakannya memang masih nampak kaku, kurang terkordina¬si. kurang efisien, bahkan hasilnya tidak konsisten. Sebagai contoh, seo¬rang pemula. dalam bulutangkis mampu melakukan pukulan service yang "halus" (yakni cock melayang rendah di alas faring dan masuk ke petak serice), namun keterampilan tersebut hanya sekali-kali dapat dila¬kukannya. !§i pelaku masih mencari-cari hubungan antara cara melaksa¬nakan dan hasil yang dicapai. Karena itu, masih belum terbentuk satu po¬la gerak yang konsisten. Siswa yang bersangkutan'dihadapkan dengan tugas yakni spa yang harus dilakukan, sehingga tahap pertama ini oleh Adams disebut tahap verbal- motor.
2. Tahap Asosiatif
Setelah tahap pertama, secara deskriptif dapat dijelaskan, berfang¬sung tahap k6dua yang disebut tahap asosiatif. Permulaan,,dari-tahap ini ditandai 6(eh semakin efektif cara-cara siswa melaksanakan tugas ge¬rak, dan dia mulai 'mampu menyesuaikan diri dengan ketra.m;Aan yang dilakukan. Akan nampak, penampilan yang terkordinasi dengan perkem¬bangan yang *tedadi.'secara bertahap, dan lambat lawn gerakan semakin .) onsisten. Jika s0rpng pemula belajar menembakkan bola 'ke dalam ring dalam permajinan bola basket hanya hampu memasukkan 2-3 tem¬bakan dari TO kesempatan, maka memasuki tahap asosiatif ini, dia makin paham tentang,..misalnya berapa•kira-kira days yang harus dikerahkan, atau bagaimana'peranan dari pergelangan kaki dan jari-jari untuk mengendalikan bola. Gerakannya tidak lagi untung-untungan, tapi makin konsisten. Artinya, gerakannya makin terpola, dan dia semakin menyad6ri kaftan antara gerak dan hasil yang dicapai.
Pada tahap ini, seperti dikemukakan beberapa penulis (misalnya, Adams, l971: Fitts. 1964), tahap verbal semakin ditinggalkan dan si pe¬la.ku. memusatkan perhatiannya pads aspek bagaimana melakukan pola . gerak yang balk, ketimbang mencari-cari pola manes yang akan dihasil¬kan. Dalam eksperimen belajar motorik, tahap itu oleh Adams disebut motor stage (tahaP motorik).
3. Tahap Otomatis
Setelah-seseorang berlatih selama beberapa hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, dia memasuki tahap otomatis. Dikatakan demikian, karena keterampilan motorik yang dilakukannya, dikerjakannya secara otomatis. Dikatakan demikian, karena pelaksanaan tugas gerak yang bersangkutan tak seberapa terganggu oleh kegiatan lainnya yang terjadi secara simultan. Seorang pengetik yang mahir misalnya, mampu dengan lancar mengetik tanpa melihat *huruf- huruf ketikan, sementara dia memperhatikan naskah yang sedang diketiknya. Seorang peenain bola basket yang telah mahir, mampu menembakkan bola seca¬ra efektif Ike ring,. meskipun dalam keadaan posisi yang sulit, misalnya karena diadiiala-ketat-oleh lawan. Yang menarik bagi kita ialah dalam melaksanakan-tubas itu,-si pelaku tak seberapa banyak menumpahkan perhatiannya kepada tugas yang sedang dikerjakannya. Tentu saja ba- nyak keuntungannya; yakni si pelaku dapat. mempfoses informasi tentang asplek lain yang juga panting seperti taktik besmain misalnya dalam teinis :bulutangkis beau berkosentrasi pads style penampilan misalnya dalam senam atau skating es.
Masalah belajar motorik pada tingkat yang lebih tinggi tersebut ham¬pir-hampir tak pernphiteliti. Persoalan ' nya, barangkali terkait dengan kesulitan yang.dialam, ~e tika eksperimen beriangsung, termasuk kesu¬karan dalam menjatin kerja same dengan pars subjek agar tetap berse¬dia terlibat dalam kegaitan penelitian. Karena itu; yang'pe* mah ditempuh ialah studi alamiah tQrhadap penampilan siswa atau atlet. Tentu saja prosedur.semacam ini menghadapi kelemahan seperti beberapa vana- bel internal tak dapat dikontrol untuk memperoleh p'eng'ertian ilmiah Yang cermat tentang proses belajar. Memang ada usaha untuk menelaah masalah otomatisasi gerakan seperti yang dilakukan oleh Schneider dan kawan-kawannya (1985; Schneider & Fisk 1,983) dalam tugas Yang menekankan waktu reaksi, namun sayangnya studi dalam belajar moto¬rik cenderung mengenyampingkan persoalan tersebut (Schmidt, 1988). Karena itu, wilayah masalah tersebut sangat menarik untuk diteliti.
c. Kombinasi Keterampllan Lama dan Baru
Meskipun tidak .banyak usaha untuk meneliti secara cermat, tapi sungguh masuk akal, bahwa suatu keterampilan yang dianggp baru bagi orang dewasa, sesungguhnya bukan benar-benar barn, tapi merupakan kombinasi dari ketrampilan yang telah dipelajarinya pada waktu sebe¬lumnya. Dengan kata lain, meskipun keterampilan yang dipelajari itu "baru" tapi keterampilan tersebut pada dasarnya hanya dapat dikerjakan karena seseorang telah menguasai suatu keterampilan pada waktu se¬belumnya. Di antara keterampilan tersebut, adayang distruktur kembali atau bahkan mungkin sekali sebagian di antaranya merupakan basis bagi penguasaan gerak yang dianggap baru. Ini berarti, keterampilan manusia Yang dianggap penuh dengan berbagai.kemungkin.an dalam perwujudannya berkembang seumpama s.usunan dari "lapisan-lapisan" keteram¬pilan yang berkombinasi menjadi sebuah keterampilan baru. Bahkan adaide yang menyatakan, semua belajar motorik telah berakhir kira-kira pa¬da usia 4 tahun.(Schmidt, 1988)..
d. Kapasitas Mendeteksi Kesalahan Gerak
Dalam penampilan keterampilan yang lebih alamiah misalnya; kita dapat pat mengamati penguasaan suatu keterampilan bermain didukung oleh ke me pendeteksi kesalahan tergantung pada jenis atau tipe tugas Yang di-lakukan. Sehubungan dengan hat ini, maka dibedakan tipe gerakan yang cepat-dan lambat; pe' ngujiannya secara umum sebagai berikut.
Dalam hat gerakan yang cepat, studi yang dilakukan Schmidt dan Aftite (1972) yang mempergunakan tugas timing balistik, dimana, sub¬jek merijjbeakkan-sebuah slide dari satu posisi di sepanjang jarak 23 cm sehingga, ditempuh tempuh waktu gerak hampir 150 milidetik, menghasilkan ke¬simpulan yang cukup rpbyakinkan. Subjek diberi kesem'patan untuk me-lakukan 170 trial-dengan mass latihan dua hari. Dengan prosedur terse¬but.'sublek 6ier6buat sebuah gerakan, dan kemudian diminta untuk me¬naksir skornya data * m milidetik. Kemudian kepada mereka dibe eiiahukan tentang hasil penampilannya atau PH dalam milidetik jugs. Skor yang di-sebutkan oleh subjek disebut kesalahan subjektif dan skor Yang sebe¬narnya disebut kesalahan objektif. Asumsi kedua pene-liti ialah, jika si pe¬laku memiliki kapabilitas untuk mendeteksi kesalahan yang terjadi, maka kesamaan atau kesesubian antara kesalahan subjektif dan kesalahan ob¬jektif semakin meningkat. Dengan dernikian, skor subjek sendiri dapat dijadikan penaksir yang cermat bagi penampilan subjek yang sebenarnya.
Bagaimana hasil analisis statistik yang mereka peroleh. Pada blok pertama. rata-rata korelasi sekitar 0,28. yang berarti korelasi antara kesalah- .an . subjektif dari ,objektif. dalam keadaan lemah. Namun tatkala latihan diteruskan, rata-rata korelasi meningkat hingga pada had kedua'mende¬kati.1.0. Data ini menunjukkan bahwa stswa.semakin peka terhadap ke¬salahannya melalui perkembangan dari proses deteksi kesalahan.
Seperti dikupas oleh Schmidt (1988). apakah prinsip yang melan'dasl gejala itu? Seperti tel3h'diuraikan dalam teori sistem tertutup, si pelaku mempergunakan umpanbalik dari gerakan itu sendiri dengan cara mem¬bandingkannya dengan rujukan benar salahnya gerakan untuk menentu- kan suatu kesalahan setelah respons selesai. Jadi deteksi ke"salah , an tak berfungsi untuk menghasilkan suatu tindakan, dan mekanisme tersebut hanya untuk mengevaluasi gerakan setelah selesai dilakukan. Sebagai¬mana ulasan terdahulu. waktu sama sekali tak cukup, untuk memanfaat- kan umpanbalik sebagai bahan untuk mengoreksi gerakan ketika sedang berlangsung..Yang lebih sesuai ialah, koreksi dilakukan setelah suatu ge¬rakan terlaksana sepenuhnya.
Prinsip, tersebut di atas tentu tak berlaku bagi gerakan yang lambat. Berbeda dengan pelaksanaan gerakan yang cepat; rupanya kapabilitas mendeteksi error ikut bertanggunggung jawab dalam menghasilkan tindakan dalam tipe gerakan yang lambat. Schmidt (1988) pads dasarnya berpen¬dapat (atas dasar bukti- bukti yang ada) bahwa proses deteksi Kesalahan dipakai untuk menentukan posisi anggota tubuh dalam gerkan'yang lambat.
Nilai praktis dari pengembangan teori, tersebut ialah pemanfaatan kemampuan si pelaku-untuk mendeteksi kesalahan yang terjadi. IN ber¬arti, ada peluang uniuk memanfaatkan kapabilitas tersebut sebagai pengganti umpanbalik tentang hasil yang sebenarnya. Dengan demikian, guru atau pelatih dapat merangsang kemampuan siswa atau atlet error yang dilakukannya tanpa untuk mampu mendeteksi atau menaksir harus tergantung pads hasil yang sebenarnya. Tentu saja, seberapa jauh efektivitas prosedur tersebut bag[ peningkatan keterampilan membu¬tuhkan bukti-bukti yang cukup.bukansaia dari kondisi labo'ratoriumtap[ jugs dari penampilan seseorang dalam situasi olahraga di lapangan. Se-lain itu, ide penting rupanya ialah, perlunya pengembangan kepekaan dan kesadaran siswa atau atlet terhadap gerak yang dilakukannya, se- hingga'dia dapat memahami kesalahan yang terjadi.
Bukti-bukti tentang efektivitas kapabilitas mendeteksi error itu ter¬ungkap dari stud[ Hogan dan Yanowitz (1978) yang memberikan tugas kepada subjek untuk men6estimasi kesalahan mereka sebelum mem¬peroleh PH pads setiap trial dalam tugas timing balistik. Hasilnya ialah tak ada perbedaan yang nyata antara kedua kelompok. Baru-barn ini Schmidt dan Shapiro (1986) mengulang kembali stud[ dengan memper-halus paradigms Hogan-Yanowitz, kecuali pemakaian tugas yang berbe¬da. Hu nt 0 982) mempelajari gejala tersebut dalam belajar verbal. Seper¬ti dilaporkan Schmidt (1988), secars keseluruhan ada bukti-bukti yang cukup kuat untuk mendukung kesimpulan tentang peranan estimasi er¬ror untuk penguasaan keterampilan yang efektif dalam keadaan PH tidak ada pada.tes transfer. Tapi eksperimen tersebut tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, sehingga membangkitkan keraguan terhadap ge¬neralisasi yang diperoleh.
e. Model Me'rarkht Kontrol
Dalam bagian ini kita mengulang[ kembali kupasain tentang hierakhi dari kontrol terhadap gerakan. Ide tentang perilaku motorik berienjang menjelaskan, pads tingkat yang lebih tinggi dari sistem tanggung jawab¬nya ialah untuk membuat keputusan, dan pads tingkat yang lebih rendah tanggung jawabnya ialah untuk melaksanakan keputusan. Kalau kita tinjau kembali tend pemrosesan informasi, maka proses pembuatan keputusan it dianegap.sebag3i jenjang "lebih tinggi" ketimbang aparat pemogram motorik. -era t an lenjang itu akan terjadi melalui latihan; kontrol motorik secara sist(,'Jmatis beralih dari tingkat yang tinggi ke yang lebih rendah datarrI , sistem melalui latihan (Schmidt, 1988).
f. Penciptaan-Gerakan Otomatis
Masalah berikutnya yakni, bagaimana proses penciptaan gerakan sehingga menjadi otomatis dalam pelaksanaannya? Jika kita kembali ke ide yang dikemukakan pada waktu satu'abad yang lampau (misalnya, Ja¬mes, 1890). maka terungkap, seseorang yang terampilrhelakukan suatu tugas gerak tanpa kesadaran, dan tanpa gangguan yang signifikan dari aktivitas memproses informasi lainnya. Dengan kata lain, gerakan yang otomatis terjadi tanpa interferers dari tugas lain yang dilakukan bersa¬maan waktunya. Sejauh mans keajegan pernyataan ini dapat kita telaah lebih lanjut.
Ada dua pandangan yang dapat kita kemukakan di sini untuk rinenje¬laskan gejala gerakan otomatis. Pefjmaa, yang sudah lazim dikenal ia¬lah-struktur pemrosesan informasi yang khusus pada dasamya dipelajari melalui latihan, dan struktur tersebut menangani pemrosesan informasi yang dibutuhkan dari semua tugas, seperti seleksi respons dan seterus¬nya. Masing-masing dari proses tersebut dapat berlangsung jika terda¬.pat kondisi rangsang yang memadai dan kemudian dipacu urituk menjel¬ma menjadi.tindakan tanpa kesadaran. Jika seseorang mampu mena¬ngani pemroses informasi semacam itu, maka si pelaku mengurangi fak¬tor gangguan dari aktivitas kognitif lainnya yang bersaing'sehi6gga suatu tugas dapat dilakukan tanpa gangguan dari tugas sekunder.
Pandangan yang kedua-seperti dikemukakan Schmidt (1988) sendiri ialah dalam suatu' togas Yang dapdt diprediksi dan terjadi -secaraber¬ulang4jlangsohinqg6 terdapat kocbnderunga'n yang bersifat.0mum mir¬SaInya, jika codk jatuh "berguling" di alas faring, dua altorribtif'utama yang dapat dilakukan pemain ialah melakukan permainan net atau mengangkat bola tinggi-tinggi ke atas), maka rupanya bisa terjadi porge¬seran kontrol kesadaran dari taraf yang lebih tinggi ke tingkat kontrol pro¬gram motorik yang lebih rendah. Dalam suatu tugas yang sudah diang¬gap rutin karena sama polanya atau yang sebelumnya dapat diprediksi, maka akan dapat dilakukan antisipasi terhadap rahgsang yang datang. Kecenderungannya, si pelaku tidak serta merta mampu melaku¬kan respons secara langsung terhadap rangsang yang muncul, tapi jauh

g. Teori Belajar Motorik
Dalam bagian ini akan-kita bahas dua macam teori belajar motorik yang dianggap ekslusif.dan dikembangkan pa- da tahun-tahun terakhir ini dengan maksud untuk mengungkapkan fak¬tor di batik proses belajar.-dari sudut pandangan. Yang pertama ialah teori.belajar motorik yang diken bangkan ole Adams. dan selanjutnya teod . schema Yang dikembangkan oleh Schmidt. Prinsip-prinsip dasar kedua tend ini terutama tentang sistim pengontrolan gerak : tdtbuka atau tertutup.
1. Teori Adams
Ketiadaan paradigms yang kukuh dalam pengembangan teorlbelajar motorik rnendorong Adams untuk mengembangkan teori belajar motorik yang disebutkannya dalam istilah teori belaiar motorik sistem tertu¬tup ("closed-loop theory") (Adams. 1971).
Seperti telah kits kemukakan, dalam sistem tertutup, umpanbalik di¬manfaatkan untuk kemudian dicocokkan dengan rujukan. Konsep utama dari teori Adams yakni mekanisme rujukan atau rujukan benar salahnya suatu gerakan. Artinya, gerakan yang telah dilakukan seseorang diban¬dingkan dengan suatu kriteria. Dalam teori Adams mekanisme rujukan ini beroperasi dalam sistem tertutup, tapi kemudian sebagai sebuah sis¬tem terbuka yang mengirimkan semua informasi yang dibutuhkan untuk memulai suatu gerakan.
Apa yang dimaksud dengan formasi jejak perseptual dalam teori Adams? Ambil contoh, manakala seseorang telah melakukan suatu tu¬gas gerak, katakaniah menggeser sebuah slide hingga jarak tertentu pa¬da posisi mendatar lurus, maka -dihasilkanrangsang umpanbalik intrin¬sik. Rangsang ini meninggalkari bekas atau jejak dalam sistem persya¬rafan (karena itu disebut jejak perseptual). Dengan diulang- ulanginya respons beberapa kali, maka seseorang semakin mendekati target yang. ditetapkan dan pada setiap trial membekaslah jejak yang berbeda, sehing¬ga terjadi semacam koleksi jejak. Selain itu, berkat penyediaan.umpan¬balik berupa pengetahuan tentang hasil (PH), maka seseorang semakin mendekati target, dan setiap trial menyediakan umpanbalik berupa gera¬kan yang benar atau tepat. Setiap kali seseoranTmencoba, maka sema¬kin kuat jejak perseptual yang berarti semakin berkurang kemungkinan kesalahan yang terjadi.
Adams menolak peranan PH sebagai reinforcement, karena PH di¬anggap semata-mata sebagai hadiah. Menurut Adams, siswa bukan se¬bagai penerima hadiah pasif, tapi secara aktif terlibat dalam verbalisasi dan pembentukan hipotesis mengenai tugas yang akan dipelaiari. Bagi Adams, PH memberikan informasi untuk memecahkan masalah.
Setelah sebuah trial dilakukan, PH disampaikan, sehingga sehingga PH bagi Adams memiliki fungsLbimhir.gan Pada tahap awal belajar, sis¬wa mempergunakan PH dalam kaitannya dengan jejak perseptual untuk melakukan gerakan yang semakin cermat.
Adams juga menjelaskan bagaimana siswa men . gembangkan kapa¬bilitas mendeteksi error. Dia menjelaskan, setelah snafu gerakan ram¬pung dilakukan, seseorang akan membandingkan umpanbafikyang*dite¬rimanya dengan jejak perseptual, dan perbedaan yang terjadi merupa¬kan error yang akan ditanggapi oleh siswa yang bersangkutan. Karena itu, dipakai istilah reinforcement subjektif untuk menuntun gerak menu¬ju suatu target tanpa penggunaan PH. Menurut teori Adams, pengarah¬an gerak ke arah target yang dituju dapat menghasilkan perubahan kare¬na umpanbalik terns menerus menambah jejak perseptual.
Selanjutnya, agak berbeda dengan teori sebelumnya, Adams me- nambahkan bahwa untuk memperoleh kapasitas sistem mendeteksi er¬ror, dua memori harus Nadir-satu untuk memproduksi tindakan dan satu lagi untuk mengevaluasi hasil yang diperoleh. Menurut Adams meskipun jejak perseptual merupakan wakil dari respons yang benar, dan gerakan diseleksi d0ndidwali oleh keadaan mempori lainnya yang disebut Adams "jejak memori", sebuah "program motorik pencegah." ber¬tanggung jawab untuk memilih dan mengarahkan tindakan, memulainya dan menuntunnya agar tak lepas dari target. Kemudian, jejak perseptual mengambil alih kendali kontrol terhadap gerak yang menyebabkannya sampai pada lokasi target yang diharapkan.
Yang menarik dari teori Adams ini ialah bahwa error yang dihasilkan selama latihan berlangsung negatif efeknya terhadap belajar. Hal ini disebabkan karena, jika suatu error dilakukan, umpanbalik yang dipe¬roleh darinya tentu akan sangat berbeda dengan apa yang didapat dari gerakan yang benar, dan karena itu pula maka jejak perseptual akan mengalami sedikit cacad. Karena itu, implikasi terpenting ialah, bimt¬bingan harus diberikan dalam belajar gerak untuk menghindari.kesalahan.
Sebagai murid yang brilian. Schmidt mencoba untuk menganalisis keterbatasan- -tend Adams. Titik tolak analisisnya ialah, dalam teori Adams nampak ketidak bulatan teori karena ada hal yang nampak tidak konsisten secara logika. Jejak perseptual bagi Adams ialah konsep kunci -karena jejak perseptual memungkinkan seseorang dapat (a) me¬nentukan letak'anggota badannya yang benar, dan (b) sebagai dasar un-tuk mengetahui seberapa jauh suatu gerakan meleset dari lokasi yang di¬tetapkan setelah keseluruhan gerak selesai. Schmidt (1975b) meng¬.emukakan -argumentasi, jika jejak perseptual merupakan satu-satunya pemandu gerak. . ini berarti tidak dibutuhkan informasi tambahan meng¬enai error yang terjadi. Russel (1974) mengetengahkan bukti bahwa tak ada mekanisme mendeteksi error setelah respons melakukan posisi lambat, meskipun telah dilakukan 100 kali, suatu hal yang bertentangan dengan teoH.Adams. Adams sendiri tak membedakan gerakan yang lam-bat dan yang cepat, meskipun kedua tipe gerakan,tersebUt mempergu¬nakan mekanisme deteksi error yang berbeda (misalnya, 'Newell, 1976b).
Menurut Schmidt (1988) keterbatasan teori Adams yakni hanya ter¬batas pads fenomena gerakan lambat. Selain itu, salah satu kelemahan utama teori Adams yakni bertentangan dengan beberapa bukti tentang deaferensiasi atau pemutusan syarafafferent. Bukti penelitian menun¬jukkan, bahwa organismsyang dalam keadaan tak memperoleh umpan¬balik sensoris dari anggota badannya masih mampu untuk melakukan respons dengan terampil (meskipun sedikit menurun), dan bahkan mem¬pelajari kegiatan baru (misalnya, Taub & Berman, 1968). Pandangan ter¬sebut disanggah kembali oleh Adams (1976b) dengan sua.tu pendapat bahwa bisa jadi hewan mengalihkan sumber lain umpanbalik seperti penglihatan sebagai pengganti dari hilangnya sensasi dari anggota tubuh Yang memberikan respons. Teori Adams mengabaikan eksistensi pem¬bangkit pola sentral, suatu struktur yang nampaknya berkemampuan untuk menimbulkan satu aksi yang kompleks tanpa memanfaatka'n um¬panbalik.
2. Teori Schema
Pada tahun 1975, karena tidak pugs dengan teori Adams yang ber¬tahan sampai 16 tahun sebagai rujukan, Schmidt mengembangkan teori baru yang kini di Amerika diterima cukup lugs sebagai teori belajar motorik. Yang menjadi sorotan Schmidt, teori Adams mengabai¬kan sistem terbuka. dan karena itu teori Schema menekankan sistem terbuka. Meskipun disebut baru, Schmidt sendiri mengakui basis teori Schema ialah beberapa konsep yang sudah dirintis oleh teori Adams. Yang masih dipandang efektif dipertahankan: dan yang dianggap rapuh ditinggalkan. Perbedaan lain yang nyata antara teori Schema dengan ngan teori Adams, yakni teori "baru" itu menekankan pokok fikiran tentang proses belajar balk yang terdapat dalam gerakan lambat maupun cepat.
Konsep sentral dalam teori schema ialah dua keadaan memori, yaitu,. (1) memori re-call yang bertanggung jawab untuk memproduksi gerakan, dan (2) memori rekognisi yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi respons. Sebagai contoh, dalam gerakan balistik, memori recall terlibat dengan program motorik dan paramat6r, jauh'sebelumnya distruktur untuk melaksanakan suatu gerakan dengan keterlibatan yang amat minim dari umpanbalik periperal. Di lain pihak, memori rekognisi ialah sistem sensoris ydng berkemampuan untuk mengevaluasi res¬pons yang dihasilkan.umpanbalik setelah suatu gerakan selesai dilaksa¬nakan. Karena itu, kepada subjek diberitahukan error yang terjadi (Schmidt, 1938).
Dalam gerakan lambat, memori recall dianggap tak memiliki peranan apa-apa, dan persoalan umum bagi siswa ialah membandingk4n urn¬panbalik dengan rujukan benar salahnya gerakan. Dalam, tips gerakan lambat, recall berfungsi untuk mendorong anggota tubuh seseorang de¬ngan daya dorong yang kecil, dan seseorang akhirnya berhenti,manakala umpanbalik dan rujukan gerak ada kesesuaiannya barangkali inti dari tend schema ialah ide tentang generalisasi program motorik (semacam program 'Master), suatu struktur yang dapat mengatur tempo dan menetapkan daya relatif dengan paramater dibutuhkan untuk menetapkan program yang akan dilaksanakan.
Apakah konsep schema itu•baru? Konsep schema tergolong salah satu konsep tua dalam psikologi, diperkenalkan oleh Head (1926) dan ke¬mudian dipopulerkan oleh Bartlett (1932). Menurut Bartlett, schema adalah suatu memori yang abstrak yang mowakili peristiwalatau suatu keterampilan, dianggap sebagai konsep atau generalisasi. Selanjutnya, popularitas ide itu pudar sejak tahun 1940-an hingga 1960-an, namun ke¬mudian minat terhadap konsep itu muncul kembali melalui eksperimen yang dilakukan oleh Posner dan Keels (1966). Schmidt sendio mencoba untuk menerapkan ide itu dalam konteks belajar motorik dikombi¬nasi dengan ide tentang generalisasi program motorik
Dalam rangka menjelaskan proses belajar ketrampilar(i motorik, Schmidt (1988) mengemukakan beberapa unsur dari teorinya. Pertama, setelah suatu gerakan dibuat oleh generalisasi program motorik; maka seseorang dalam waktu singkat menyimpan empat hal: (1) kondisi awal (misalnya posisi tubuh, perpindahan titik berat badan, dan sebagainya); siswa menyimpan parameter. yang disiapkan bagi generalisasi pro-gram motoroik; (3) hasil gerakan dalam pengertian PH disimpan; dan (4) siswa menyimpan konsekuensi sensoris dari gerakan (misalnya bagai¬mana rasanya gerakan, bagaimana suaranya, dan seterusnVa). Keempat sumber itu disimpan siswa dalam "benaknya" selama periods tertentu hingga kemudian dia dapat membayangkan atau mengabstraksi relasi antara keempat unsur itu. Kedua relasi yang terjadi, atau schema, diang¬gap telah terbentuk.
Schema-yang dimaksud, pertama disebut scheme recall, yang ber¬tanggung jawab terhadap produksi gerak. Yang k6dua adalah, schema rekognisi, yang dianggap bertanggung jawab untuk mengevaluasi hasil gerakan.
Sebelum gerakan dilakukan, individu memilih hasil gerakan dan me¬nentukan kondisi awal. Kemudian, dengan schema *rekognisi, individu dapat mengestimasi konsekuensi sensoris yang akah terjadi apabila ge¬rakan itu dihasilkan. Hal ini disebut konsekuensi sensoris yang diperkira¬kan. Kesefuruhan sistem terlukis dalam Gambar 12-3. Diagram tersebut melukiskan proses yang terjadi sejak kondisi awal dan hasil akhir. Bagi gerakan yang cepat, kondisi awal dan hasil yang diinginkan dimasukkan sebagai bahan masukan bagi sistem dan kemudian diteruskan.ke parb¬meter dankonsekuensi sensoris yang diperkirakan.
Setelah gerakan di "nyalakan" oleh program, informasi sensoris dari anggota tubuh dan -lingkungan diterima kembali dan kemudian diban¬dingkan dengan keadaan yang dih rapkan; setiap error yang terjadi dibe¬fl label dan kemudian dikirimkan.kombati ke mekanisme pemrosesan in¬formasi sebagai reinforcement subjektif.
Dalam gerakan lambat, reinforcement subjektif dipergunakan untuk menghasilkan suatu tindakan. Dalam situasi demikian, cumber-cumber umpanbalik yang-diekspektasikan mewakili kriteria benar salahnya gera¬kan, dan- umpantialik dibandingkan terhadap mereka untuk kemudian menghasilkan informasi tentang error yang terjadi selama gerakan ber¬langsung. !ndMdu ybs. selanjutnya menggerakkan sebuah Yang terjadi sekecil mungkin. Jadi, meskipun gerakan lambat secara ak¬tif dihasilkan, rupanya juga diatur oleh memori rekognisi dan schema rekognisi.
Teori scheffia merupakan, alternatif teori Adams dalam memahami fenomena belajar motorik. Jika dibandingkan dengan teori Adams, teori schema yang dikembangkan Schmidt lebih memperhitOngkan macam¬macam tips gerak (lambat dan cepat), kapabilitas deteksi error, dan pen¬jelasan tentang bagaimana dihnsilkan suatu ketrampilan lbarij._Tentu sa-. ja, teori-schema juga masih belum mampu mencakup semua penjelasan menge . nai gejala belalar, sehingga dibutuhkan upaya untuk memper¬kayanya dengan konsep barn. Meskipun domiklan, teori itu dapat dipakai sebagai kerangka untuk memahami gejala belajar motorik.


BAB III
PENUTUP
Pengertian reinforcement sering dianggap sanTa dengan umpanbalik, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Reinforcement dia'rtikan seba¬gai setiap kondisi, iika diikuti oleh suatu respons, meningkatkan peluang (probabilitas) bagi respons tersebut untuk teriadi kembali manakala rangsang yang sama diberikan. Dalam praktek pengaiaran atau kepela¬tihan. - hadiah atau hukuman sering dimanfaatkan sebagai reinforce¬ment. Namun dernikiah..tak selalu hukuman itu mempan untuk meng¬urangi peluang munculnya perilaku siswa atau atlet yang tak diharapkan. Reinforcement tergolong sebuah konsep psikologi yang sudah-cukup la¬ma dikenal. Teori-teori reinforcement mulai dikembangkan sejak ekspe¬rimen Wasik Pavlov tentang asosiasi antara rangsang dan respons.yang terkondisi, disusul teori Thorndike yang tercakup daiam "hukum efek" Yang menekankan efek respons adalah strategic bagi reinforcement. Teori reduksi kekuatan drive dari Hull selaras dengan konsep reinforce¬ment. Selanjutnya, Skinner mengembangkan teori "operant conditio¬ning' dengan tekanan pads pentingnya pemberian hadiah bagi pening¬katan peluang munculnya perilaku yang diharapkan dan pemberian hukuman untuk mengurangi atau melenyapkan peluang perilaku yang dimaksud.
Umpanbalik adalah pengetahuan yang diperoleh berkenaan dengan sesuatu tugas, perbuatan atau respons yang telah diberikan.
Fakta empirik menunjukkan bahwa pads tahap awal kemajuan bela¬jar berlangsung cepat dan kemudian lambat lawn menurun pads tahap berikutnya.. Peningkatan belajar diungkapkan dalam persamaan togadtma "Hukum latihan". Selanjutnya, siswa melewati tiga tahap belajar yakni: (1) tahap kognitif yang menekankan apa yang akan diperbuat; (2) tahap asosiatif, menekankan penyempu'rnaan pola gerak; dan (3) tahap otomatis ' yakni suatu tahap yang hampir-hampir tak membutuhkan perhaiian dalam pelaksanaannya.
Satu penemuan Yang. amat berarti tentang prinsip yang melandasi proses belajar ialah seperangkat kemampuan'atau abilitas yang menja¬di dasar suatu ketrampilan nampaknya berubah sebagai akibat-latihan, sehingga abilitas yang dipakai untuk melaksanalSan suatu keterampilan berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan dengan kegiatan latihan. Perubahan itu menunjukkan kurangnya keterlibatan kemampuan kognitif dan semakin dibutuhkannnya kernampuan motorik apabila dilakukan latihan,
Ada pendapat yang menyatakan, kon'trol program motorik dalam keadaa6 b.erienian-g. Karena latihan terjadi perubahan sistematis dari jen¬jang yang lebih tiriggi ke jenjangyang lebih rendah dari siatu sistem. Pro¬gram motorik itu seadiri dianggap terbentuk melalui latihan, namun tak diketahui bagaimana prosesnya berlangsung. Juga diketahui, kapabilitas mendeteksi error memberikan efek nyata terhadap.belajar, dan berman¬faat sebagai reinforcement subyektif yang bahkan dapat.mengganti ke¬dudukan pengetahuan tentang hasi! atau PH.
Dua teori belajar motorik yang dikembangkan akhir-akhir ini dengan pendekatan yang berbeda jika dibandingkan dengan teori belajar motorik yang diadaptasi dari teori belajar tradisional. Menurut teori Adams, sis¬wa memperoleh rujukan benar salahnya suatu gerakan (disebut jejak perseptual) melalui latihan, dan.penyempumaan dalam memberikan res¬pons motorik merupakan hasil dari peningkatan kapabilitas si pelaku un¬tuk mempergunakan rujukan dalam sistem tertutu. Teori schema berda¬sarkan ide bahwa gerakan lambat berdasarkan pemanfaatan umpanba¬lik, dan dalam gerakan cepat berdasarkan program yang direncanakan sebelumnya; dengan belajar seseorang mengembangkan schema yang memungkinkan untuk membangkitkan respons baru.

DAFTAR PUSTAKA

Bigge, Mol-ris L.,_ dan Hunt, Maurice P., (1969), Psycological Faountion of Education, Tokyo, John Weatherhill, Inc.

Brown, Eugene-dan Branca, Crystal F, (1988), Competitive Sports for Children and Youth, An Overview of Research and Issues, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc,

Calnoun, Donald.W. (1987), Sport, Culture, 'and Personality, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc.

Greendorfer, Susan L., dan Ylannakis, Andrew (ed)., (1981), Sociologyof Sport : Perspective, West Point : Leisure Pres.

Grupe, Ommo,Kurz, Dietrich, dan Teipel, Johanes Marcus (ed), (1972), The Scientific View of Sport : Perspective, Aspects, Issues, Neidelberg; Springererlag Berlin.

Harre Dietrich (ed.), (1982), Principles of Sport Training., Introduction to Theory and Methods, Berlin : Sportverlag.

Hart, M. Marie (ed.), (1980), Sport in the Socio-Cultural Process, Dubuque WM. C. Brown Company Publishers.

Houre, H., Kleinbeck, V., dan Schmidt, K.H. (ed.), (1985), Motor Behavior: Programming, Control, and Acqusition, Berlin : Springer – Verlag.
Haywood, Kathleen M., (1986), Life Span Motor Development, Champaign : Human Kinetics Publisherss, Inc.

Hilgard, Ernest R., dan Bower, Gordon H., (1977), Theories of Learning, New Delhi, Prentice-Hall of India Private Limited.

Huizinga, Johan, Homo Ludens : A Studyof the Play Element in Culture, Boston : The Bacon Press.

Kirkendall, Don R., dan Gruber, Jospeh J., dan Johnson, Robert E., (1987)

Measurement and Evaluation for Physical Education, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc.

Krech, David, Crutchfield, Richard S., dan Balaachey, Egerton L., Individual in Society : A text Book of Social Psychology, Tokyo Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd.
Kuhn, Thomas S., (1970) The Structure of Scientific Revolution, Chicago The University of Chicago.

Magill, Richard A., (1985), Motor Learning, Conceps and Applications, Dubuque : WMC Brown Publishers.

Morgan, William J., dan Meier, Klaus V. (ed), (1988), Philosophic Inquiry in Sport, Champaign : Human Kinetics Publishers, Inc.

Oxendine, Joseph B., (1968), Psychology of Motor Leaning, Englewood Cliffs : Prentice-Hall, Inc.,
Oxendine, Joseph B., (1,964), Psychology of Motor Learning, Englewood Cliff, Prentice-Hall, Inc.

Pieron, Maurice.dan George, Graham, (ed.), (1986). Sport Pedagogy, Champaign : Human Kinetics Pubiishers, Inc.

Rink, Judith E., (1985). Teaching Physical Education for Learning, St Louis, Toronto, Santa Clara : Mosby College Publishing.

Rusli Lutan, (1984), Beberapa Isyu dalam Olahraga, Makalah.
Rusli Lutan, (1984), Menuju ke arah Filsafat Olahraga danImplikasinya terhadap Pembinaan, Makalah.
Rusli Lutan, (1986), Identifikasi bakat dalam Olahraga, Makalah.
Rusli Lutan, (1987), Strategi Difusi Inovasi dalam Proses Pembangunan Olahraga Nasional, Makalah.
Sage, George H. (1984), Motor Learning and Control, Dubuque : Wm. C. Brown Publisehr.
Shaw, marvin E., (1981), Group Dynamics : The Psychologyof Small Group Behavior, New York : McGraw-Hill Book Company.
Schmidt, Richard A., (1982). Motor Control and Learning, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc.
Schmidt, Richard A., (1988), Motor control and Learning, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc,
Singer, Robert N.. (1968), Motor Learning and Human Performance, New York he Macmillan company.
Stallings, Loretta M., (1980), Motcr Skills, Development and Learning, Washington DC. Wm C. Brown Company.
Stallings, Lorretta M., (1982), Motor Learning : From Theory to Practice, Washington DC: Wm C. Brown Company.
The Committee of Olympic Scientific Congress, (1984), Scientific Program Abstracts, Uregon; University of Uregon.
Thomas, Jerry R., dan Nelson, Jack K., Introduction to Research in Health, Physical Education, Recreation, and Dance, Champaign : Human Kinetics Publishers, Inc.
Wade, M. G. (ed.), (1986) Motor Skill Acquisition of Mentally Handicapped, Amsterdam : Elsevier Science Publisher.
Whiting, H. T. A., (1975), Concepts in Skill Learning, London : Lepus Book. Wittrock, Merlin C. (ed.), '(1986), Handbook of Research on Teaching, New York : Macmillan Publishing Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar