PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerak merupakan ciri kehidupan. Gerakan tubuh dalam hal ini gerak yang dihasilkan oleh kontraksi otot, memungkinkan manusia melakukan berbagai hal yang menunjang kehidupannya. Manusia Mempertahankan Keselamatannya dengan bergerak bergerak: Reflek menghindar , berlari, menunduk, memungkinkan orangmenjaga diri dari hal yang mempertahankan tubuhnya. Belajar gerak ini adalah menambah pengetahuan, pemahaman, atau penguasaan melalui pengalaman atau penyelidikan.
Menurut Hergenhahn dan Olson (1993) Belajar adalah sebagai suatu perubahan yang relatif permanen dalam prilaku atau dalam potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman dan tidak dapat di kaitkan dengan keadaan sementara dari tubuh seprti disebabkan oleh sakit, kelelahan atau obat-obatan.
Gerak disini tentunya berhubungan dengan keterampilan, yang dalam arti luas bermakaksud mengembangkan penguasaan seseorang terhadap keterampilan gerak.
Menurut Schmidt (1991) pembelajaran gerak adalah serangkaian gerak yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman yang mengarah pada perubahan-perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan seseorang untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil.
Secara umum definisi yang di ajaukan Schmidt mengandung 3 aspek penting sebai berikut :
1. Belajar merupakan pengaruh latihan atau pengalaman
2. Belajar tidak langsung teramati
3. Perubahan yang terjadi relatif melekat adalah penting untuk menyakini bahwa faktor latihanlah yang akan mempengaruhi penampilan secara menetap.
Perubahan kemampuan itu akan menjadi ciri dari orang yang bersangkutan yang akan berguna ketika suatu waktu di butuhkan. Kemampuan baru itu akan terbawa kemanapun orang yang bersangkutan berpindah tempat.
B. Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis bahas di atas, agar makalah ini lebih mengarah dan tidak terlalu luas, maka penulis menarik Benag Merah dalam makalah ini yang berfokus pada masalah di antaranya:
1. Olahraga Modern dan Perkembangan Ilmiah.
2. Struktur Ilmu Keolahragaan.
C. Tujuan
Penulis menyusun makalah ini dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Olahraga Modern dan Perkembangan Ilmiah serta Struktur Ilmu Keolahragaan dalam mengahadapi masalah seperti dalam olahraga terhadap prestasi seorang atlet
2. Mengupayakan agar tugas dan peran pokok seorang pelatih untuk membangun keterampilan gerak seorang atlet dengan baik yang pada akhirnya tujuan utama prestasi olahraga bisa tercapai
D. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan orang yang bergelut didalamnya melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta mampu mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para Atlet/siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
BAB II
PEMBAHASAN
A. OLAHRAGA MODERN DAN PENDEKATAN ILMIAH
Jika ciri-ciri olahraga dibahas, maka terdapat sekian banyak karakte¬ristik yang dapat diungkapkan. Pernyataan ini berdasarkan kenyataan bahwa karakteristik olahraga secara langsung berkaitan dengan ciri-ciri perilaku manusia dan dengan berbagai macam kegiatannya di masyara¬kat. Memang ada orang yang beranggapan bahwa kegiatan olahraga ter¬pisah dari kehidupan nyata, terlepas dari kepercayaan, nilai- nilai, atau norma-norma yang melandasi perilaku manusia. Kalau kits telaah secara mendalam, maka kegiatan olahraga merupakan bagian yang tak terpisah dari semua aspek kehidupan manusia. Dalam pengertian yang lebih spe¬sifik, pelaksanaan olahraga pada tingkat individual, kelompok, atau komunitas dipengaruhi langsung oleh aspek biologis, psikis, dan lingkungan sosial budaya. Karena itu. deskripsi tentang karakteristik olahraga perlu diungkapkan berdasarkan sudut pandang yang luas.
a. Dimensi Bio-Psiko-Socio-Kultural Olahraga
1. Aspek Biologis-Psikologis dari 0lahraga
Studi antropoligis antara lain mengungkapkan kelebihan manusia da¬ri pada mahluk hidup lainnya di muka bumi ini. Manusia berdiri tegak dan memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi ling-, kungan di sekitarnya. Karena dia memiliki perkembangan sistem persya-ratan yang lebih kompleks dan kemampuannya lebih tinggi daripada apa yang dimiliki mahluk hidup lainnya, maka .manusia mampu mengem¬bangkansuara dan simbol yang mengandung makna. Dan dengan kele¬bihannya itu, manusia mampu berkomunikasi, mencatat masalah. basil observasi, pengalaman, dan gagasan. Kemudian dia mengembangkan atau melestankan pengetahuan spesifik untuk kemudian diterapkan da¬lam situasi praktis. Karena itu, mnusia mampu mengendalikan ling¬kungannya. Tentu bukan itu saia. Dm juga mampu mengaktifkan dinnya berdasarkan kesadaran, sehingga dia berbuat atau bertindak dengan pe• nub pengertian, balk tentang tujuan yang akan dicapainya maupun mak na dan konsekuensi perbuatannya di tengah-tengah kehidupan sosial.
Meskipun ada persamaannya, maannya, gerak manusia sangat berbeda de¬ngan gerak yang dapat dilakukan oleh binatang. Perbedaannya terutama pada pengembangan bentuk-bentuk dasar dari gerak. Manusia memiliki daya kreatif. Oleh karena itu manusiamampu melepaskan dari belenggu hukum Alam hewan tidak memiliki daya kreatif meskipun hwan memiliki inteligensia yang cukup maka sejak ada kuda di muka. bumi gerakannya pads badan ti- dak!berubah. . Tapi gerak manusia berkembang sesuai dengan daya kreasinya. Gerak manusia terwujud dalam pola atau struktur yang lebih luas. Gerak pads manusia tidak sekedar aktivitas jasmani tanpa kesadar¬an, tapi lebih banyak diJasarkan pads tujuan yang ingin dicapai. Berkait¬an dengan ur6ian di atas, dapat kita simpulkan bahwa olahraga merupa¬kan salah satu dari puncak kreasi manusia. Dan melalui kegiatan tersebut, manusia menyempurnakan pertumbuhan fisik dan psikisnya.
Olahraga tidak bisa semata-mata ditelaah dari aspek biologis, tapi ju¬gs dari aspek psikologis. Gerak manusia tidaklah semata-mata sebagai .rangkaian gerak tubuh atau anggota badan dalam ruang dan waktu. Geja¬la tersebut tidak cukup ditinjau dari sudut fungsi psikologis tubuh manu¬sia. Akan tetapi, satah satu tinjauan penting tentang gerak sebagai sari olahraga adalah tinjauan dari aspek biologis. Para ahli ilmu faal misalnya, memahami gerak manusia sebagai satu kaftan dari sekelompok fungsi dalam sistem anatomi. Tubuh manusia membutuhkan pemulihan guns memperoleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi.
Berkaitan dengan gejala tersebut di atas, semua konsep fisiologis seperti homeostatic, -kapasitas aerobik, second-wind, dan lain-lain di¬pandang ada kaitannya dengan dimensi psikis. Pandangan tradisional yang memisahkan dimensi fisik dan fsikis ternyata tak dapat dipertahan¬kan. Manusia bergerak atau berolahraga sebagai sebuah totalitas dari fungsi 'jasmaniah dan kepribadiannya. Bahkan dapat dikatakan, gerak fisik merupakan media bagi dimensi psikis untuk kontak dengan dunia luar. Lebih lanjut, batas kemampuan manusia jugs terkait dengan dimen¬si psikis. Karma itu, kita mengenal konsep motivasi, kemampuan men¬toleransi stress, daya juang, sikap terhadap laiihan dan lain-lain yang relevan.
Meskipun manusia memiliki kemampuan untuk mengubah dan mengontrol lingkungannya, manusia adalah mahluk yang paling terkekang karena dia merupakan sasaran dari beberapa kekuatan yang berpe¬ngaruh kuat, baik dari prinsip kimiawi maupun hukum-hukum biologis.
Manusia dikekang pulp oleh kekuatan sosial di sekitarnya. Dalam situasi demikian, manusia memperoleh kesempurnaan melalui kehidupan ma¬syarakat. Karena alasan itulah, diskusi tentang hakikat olahraga perlu juga ditinjau dari aspek sosial-budaya.
2. Aspek Socio-Kultural dari Olahraga
Manusia adalah bagian integral dari lingkungan masyarakatnya. Di sepanjang hidupnya dia berinteraksi dengan sesamanya, sehingga per¬ilaku manusia terbentuk melalui proses interaksi yang berkesinambung¬an antara individu dengan individu.lain. Dengan kata lain, terdapat ciri perilaku interpersonal dalam konteks sosial. Karena interaksi itulah ma-nusia beradab dan berbudaya. Berkaitan dengan asumsi tersebut, maka makna olahraga juga ads kaitannya - dengan aspek sosial-budaya. Kalau saja kita sempat secara mendalam menelaah hasil studi yang dilakukan Robert (1970). dan Sutton & Smith (1963) maka kita akan memperoleh pemahaman yang semakin jelas tentang hubungan timbal batik antara faktor sosial-budaya dengan olahraga. Secara singkat dapat dikemuka¬kan, kesemua studi tersebut tadi memaparkan bentuk-bentuk permain¬an yang berbeda-beds serta kaitannya dengan proses sosialisasi di ling¬kungan masyarakat, termasuk pengungkapan peranan prig dan wanita pada usia yang berbeda-beda dalam olahraga.
Di Indonesia sendiri masalah tersebut sempat disinggung sepertidalam. seminar olahraga Sea Games di Jakarta, tgl. 9-10 September 1987. Satu masalah pokok ialah mengapa prestasi olahraga tidak pesat perkembangannya di Asia Tenggara? Satu jawaban hipotetis (jawaban sementara yang masih membutuhkan data) ialah bahwa kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya sedemikian dominan Oengaruhnya baik se¬bagai pemacu maupun penghambat perkembangan dan pertumbuhan olahraga. Lebih lanjut, masalah'alot yano'berakar pada masalah-sosial dan ekonomi, seperti tingkat pendapatan yang rendah, kondisi kesehat¬an dan lingkungan yang tidak memenuhi kaidah-kaidan hidup sehat, ting¬kat pelayanan kesehatan, sanitasi, dan faktor lain sering dianggap seba¬gai alasan pokok mengapa olahraga, misalnya di Indonesia lambat per¬kembangannya, khususnya dalam olahraga prestasi. Pandangan tersebut menekankan kaitan yang erat antara olahraga dan kesejahteraan hidup, satu kerangka berfikir yang sebenarnya dipinjam dari slam fikiran negara industri. Persoalan semacam itu, telah lama menarik perhatian para ahli. Kaitan antara olahraga dengan ekonomi dan perluasan waktu aktu senggang s6rta'prOduksi alai-alas clahraga yang dibutuhkan menarik pare ahli ekonomi. Daniel (1953) menelaah peranan ekonomi dan Oganisasi olahraga di Swedia. Olahraga tradisional dan rekreasi telah menjelma menjadi faktor penting dalam ekonomi Amerika Serikat (Reeve. 1910).
Para ahli sosiologi olahraga misalnya, mencoba menelaah deskripsi jenis olahraga pads setiap lapisan sosial. Kecenderungan sebagai penonton misalnya, digambarkan sebagai trend yang kuat pada lapisan sosial. yang lebih luas. Lebih lanjut, studi yang dilakukan Frankenberg(1957) menarik untuk disimak di mane dia mengemukakan 0 'hraga se¬bagai bagian integral dari kehidupan suatu komunitas. Olahraga seperti klubnya berkaitan erat dengan perubahan sosial khususnya .didaerah pedesaan di Polandia (Tyszka, 1964).Juga demikian halnya di Amerika Serikat (Vidich, 1960). Perhatian khusus juga telah diberikan:terhadap daerah pertanian di mane olahraga sangat tidak berkembang (Krawczyk, 1962).
Perkembangan; olahraga dipengaruhi oleh budaya dan hingga taraf tertentu, perkembangan olahraga itu memperkaya budaya suatu masya¬rakat. Dalam rangka membahas kaitan budaya clan olahraga, Luschen (1962, 1967) misalnya, mengkaji kembali kebenaran hipotesis Weber tentang entang nilai-nilai agama Protestan dan kapitalisme, serta penerapannya dalam budaya olahraga. Kesimpulannya-ialah bahwa orientasi berpres¬tasi dalam olahraga individual, orientasi kolektivitas-dalam olahraga be¬regu dan orientasi pada umumnya untuk kekuasaan individu dan sistem adalah faktor-faktor yang mela'6dasi olah¬raga modern. Selain itu dapat kita kemukakan, olahraga merupakan kancah pembentukan tradisi, norma-norma dan nilai-nilai baru. Lebih lanjut, proses kontak budaya clan pengambil alihan budaya (inovasi) sangat mullah terjadi melalui olahraga. Partisipasi pare olahra¬gawan dalam kegiatan olahraga nasional di Indonesia misalnya, . dalam kenyataannya merupakan salah satu kekuatan yang berpengaruh untuk budaya nasional. Persoalan ini membutuhkan 'studi yang lebih mendalam.
Proses pembentukan kebudayaan itu terjadi karena pengaeuh bebe¬rapa faktor: (1) faktor geografis, clan (2) kontak antara due budaya. Atas dasar pernyataan itu, perkembangan dinamik dari olahraga sangat erat kaitannya dengan faktor geografis. Negara-negara-yang mengalami mu¬sim dingin misalnya, akan mengenal olahraga musim dingin seperti olahraga ski es, hoki es, dan olahraga lain yang sesuai. Di lain pihak, peng¬enalan olahraga barn bagi sekelompok masyarakat tertentu juga terjadi melalui konlak budaya. Contoh ini tak begitu sukarkita can di Indonesia. Hampirseluruh ca6ang olahraga modern yang dikelola oleh top-top orga¬nisasi misalnya, merupakan kegiatan olahraga yang diadopsi dari luar. Pe'rkembangannya sedemikian pesat berkaitan dengan perkembangan komunikasi dan transportasi antar negara, termasuk semakin lancamya penyelenggaraan pertandingan olahraga di tingkat internasional. Kecen¬derungan itu dapat kita amati misalnya tentang perkembangan ' pencak- silat yang semakin meluas ke luar negeri, seperti ke beberapa negara di Eropah dengan prestasi yang baik.
Atas dasar uraian di muka, maka kita dapat menyimpulkan bahwa fenomena olahraga, termasuk trend perkembangannya dan penyem¬purnaan atau peningkatan -prestasi perlu'ditelaah dari.sud6t yang luas. Manusia memiliki kemampuan untuk berkreasi dan menyempurnakan perkembangan fisik-psikis, sosial dan kebudayaannya. Akan tetapi, tak terelakkan, manusia juga terkungkung dalam keterbatasan karena didik¬te oleh berbagai kekuatan yang bersumber dari hukum kimiawi, fisika, biologis, dan bahkan kekangan dari faktor sosial-budaya. Karena itu, te¬pat jika kita katakan, olahraga merupakan satu gejala yang kompleks, sa¬tu gejala bio-psiko-sicio-kultural
b. Wilayah Kegiatan Olahraga Modern
Terdapat sejumlah konsep atau definisi tentang olahraga. Definisi yang dikemukakan oleh para ahli berbeda dalam isi rumusannya, tergan¬tung pada penekanannya, karena terkait langsung dengan bidang keil¬muan dari mans olahraga itu dibahas. Misalnya saja, perumusan para ahli sosiologi olahraga tentu akan berbeda dengan para ahli filsafat olahraga. Karena itu, dalam buku ini kita tidak akan sampai pada perumusan peng-ertian -olahraga yang sempurna. Dan sangat sulit bagi kita untuk mem¬buat satu definisi yang hiampu mencakup seluruh karektaristik olahraga, lebih-lebih karena olahraga modern menunjukkan perkembangan yang pesat terutama dalam jenis cabang atau kegiatannya. Meskipun , demikian beberapa definisi perlu juga kita kemukakan di sini dengan maksud, papa pembaca akan memperoleh gambaran tentang kedUdukan belajar keterampilan olahraga dalam kegiatan olahraga itu sendiri.
Smith (1971), seorang filosof dari Catholic University of America da¬lam makalahnya yang berjudul "Sport and Play: Suspension of Ordinary," mengemukakan bahwa olahraga adalah suatu perluasan atau perkem bangan lebih lanjut dari bermain, sehingga pelaksanaan olahraga berlan¬daskan pada kegiatan bermain dan nilai-nilai intinya diambil dari kegiatan bermain tersebut. Dia menambahkan, ada tiga hal pokok yang.memati¬kah spirit bermain yaitu tedampau mementingkan (1) kemenangan; (2) rasionalisasi tehnik atau ketrampilan; dan (3) kehadiran penonton. Dapat kita tambahkan, analisis yang dikemukakan Smith tersebut lebih banyak tertuju pada olahraga kompetitif (olahrags'prestasi).
Vanderzwaag (1971) mengemukakan pendapat yang agak berbeda dengan pendapat Smith tadi. Dia mengemukakan bahwa bermain ada¬lah satu kohsep yang lebih luas daripada olahraga; terdapatberbagdima- cam permainan, mulai dari yang paling sederhana seperti yang dilakukan o(eh anak-anak hingga bentuk permainan yang lebih kompleks dan rumit seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Vanderzwaag m6nambah¬kan, olahraga cenderung lebih terstruktur, lebih terorganisir dan kom¬pleks. Definisi tersebut di atas lebih banyak menekankan pengungkapan karakteristik olahraga kompetitif.
Ahli lainnya yang lebih condong mengungkapkan definisi.olahraga kompetitif ialah Matveyev (1981). Dia mengatakan bahwa olahraga adalah satu kegiatan blot-blot yang energetik di mans seorang atlet memperagakan kemampuan geraknya. dan kemauannya semaksimal mungkin. Sela~njytnya Loy (1968) mengutarakan gambaran yang lebih komprehensif dari kegiatan olahraga. Menurut Loy, karakteristik olahra- ga yang utama pada dasarnya adalah karakteristik kegiatan. bermain. Olahraga membutuhkan peragaan ketangkasan fisik dalam beberapa bentuk. Lebih lanjut, keperkasaan eperkasaan fisik ini bisa terungkap dalam bentuk keterampilan fisik, kesegaran jasmani, atau kombinasi kedua hal itu*. Dia menambahkan, olahraga mengandung ciri bermain; olahraga adalah kompetitif; dan olahraga melibatkan kombinasi beberapa keterampilan, strategi, dan kesempatan.
Dari sudut lain olahraga dibagi menjadi beberapa kategori. terutama dari cara pengorganisasiannya Grupe dkk,.ed.,(1972) misalnya. mem¬bagi olahraga menjadi: (1) olahraga formal (formal sport); kegiatannya teroeganisasi secara formal, seperti yang dikelola oleh top-top organisasi olahraga; (2) Olahraga informal yakni olahraga yang dilakukan dalam keadaan organisasi yang lebih longgar dan kegiatannya bisa berlangsung sew'aktU-waktu,'misalhYa kegiatan rekreasi yang dilakukan masyarakat; dan .(3) olahraga yang dilakukan:di'lingkungan lembaga seperti di seko lah, industri, militer dengan tujuan bahwa olahraga dapat membantu mempercepat pencapaian tujuan pokok seperti lebih produktif, lebih berdisiplin, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di alas, semakin jelas bagi kita bahwa inti dari ke¬giatan olahraga adalah bermain dan dalam kegiatan itu pula manusia memperagakan ket6rampilannya dalam melakukan suatu gerakan. Ber¬bagai cabang olahraga telah diciptakan dan dikembangkan dalam masya¬rakat modern. Dari berbagai macam ciri yang diutarakan dalam ungkap¬an yang singkat dan padat itu, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ciri khas kegiata'n•.olahraga adalah peragaan keterampilan fisik untuk mencapai kemenangan, atau tingkat kemampuan terbaik. Tujuan ini direalisasikan melalui pertandingan olahraga atau kompetisi di mana seseorang terikat dengan peraturan-peraturan.
Yang paling menarik perhatian kita ialah, bahwa olahraga.di Indone¬sia, meskipun belum merata secara menyeluruh, telah diterima oleh ma¬syarakat. Olahraga tumbuh dan berkembang dalam berbagai bentuk de¬ngan cara pelaksanaan, pengorganiasian dan tujuan yang berbecla-beds sesuai dengan penekanannya masing-masing. Dalam buku ini wilayah kegiatan olahraga yang dimaksud yaitu olahraga kompetitif, olahraga profesionai, olahraga rekreatif, dan olahraga pendidikan.
1. olahraga Kompetitif
Ada kecenderungan, kegiatan olahraga yang paling banyak menda¬pat perhatian di Indonesia ialah olahraga kompetitif. Kegiatan olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian prestasi setinggi-tingginya te¬lah berkembang menjadi suatu kegiatan yang terlembaga dengan struk¬tur organisasi formal yang berfungsi untuk mengelola kegiatan otahraga tersebut. Kelembagaan olahraga tersebut, tidak saja makin mapan di tingkat internasional, tapi juga di tingkat nasional. Di tingkat regional se¬bagian dari kelembagaan tersebut mulai berkembang. Kita dapat mem¬berikan contoh beberapa lembaga formal pengelola olahraga. Di Indone¬sia rriisalnya, dikenal PSSI, organisasi pengelola sepakbola yang berafi¬liasi dengan FIFA sebagai organisasi sepakbola internasional. Contoh lain, PBSI yakni pengelola bulutangkis yang berafiliasi dengan IBF. Masih banyak contoh lain. Tapi dari seluruh kegiatan yang dikelola oleh top-top organisasi olahraga kompetitif itu, nampak jelas, karakteristiknya yang utama yakni perjuangan untuk mencapai prestasi sej>erti'dalam bentuk pemecahan rekor atau pencapaian gelar juara. Dalam kegiatan mencapai tujuan tersebut, maka seorang peserta akan membandingkan -penampilan atau prestasinya dengan prestasi peserta lain, dan partisipa lah pola hidupanya secara menyeluruh terbentuk. Karena itu, kata kunci dalam olahraga' kompetitif ialah latihan dan prestasi. Nilai utama yang melandasi kegiatan itu adalah prestasi dan kompetisi melalui.pengorganisasian secara formal. Karena itu, seseorang yang merasa tertarik de¬ngan kegiatan olahraga kompetitif akan sangat imemperhatikan upaya meningkatkan prestasinya, termasuk di dalamnya ikhtiar mencari metode yang lebih efisien untuk mendorong perkembangan dan peningkatan efisiensi keterampilan gerak.
Dewasa ini, olahraga kompetitif terdiri dari sejumlah cabang. Perkembangan dinamik dari olahraga kompetitif ini iidaklah"semata,-mats menitik beratkan pencapaian prestasi puncak atau perwujudan aktualisasi diri seseorang, tapi juga ada yang berubah menjadi kegiatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Berkaitan dengan perhatian yang semakin besar dari kalangan masyarakat terhadap olahraga sebagai obyek tontonan clan hiburan, maka olahraga prestasi berubah menjadi "industri tontonan" di mana atlet berperan sebagai seorang aktor. Olah¬raga cenderung, berubah dengan tujuan bukan lagi pada kegiatan itu, tapi sebagaimana halnya kegiatan bekerja yakni untuk mencapai ganjaran dari luar berupa insebtif. material Ganjaran ekstrinsik dan aspek hiburan menyatu menjadi satu dengan ciri yang khas.
2. Olahrag Profesional
Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyatakan kegiatan olahraga yang menitik beratkan pencapaian tujuan memperoleh keuntungan eko¬nomi, berupa hadiah uang, bonus, dan keuntungan material lainnya ialah olahraga profesional. Keterampilan fisik, prestasi' atau penampilan yang baik jugs merupakan ciri yang menonjol dalam olahraga profesio¬nal. Para pemain cabang olahraga profesional yang bersangkutan ditun¬tut untuk selalu mampu menampilkan prestasi dengan maksud Para pemain penam pilan yang baik akan Menarik publik atau Penonton Sepak bola profesional misalnya, memperoleh kontrak bayaran sesuai dengan penilaian para manajer yang merekrut mereka. Contoh-contoh nyata; mudah kita peroleh, misalnya dalam cabang olahraga seppkboila. bola basket, tinju, dan cabang lainnya. Karena keterampilannya yang tinggi Para atlet pprofesionalmampu menarik banyak penqunjun§ Yang s.udah barang tentu merupakan sumber pendapatan karcis masuk, hak siaran radio atau televisi. Karena itu, ciri-ciri lanjut selperti kompetisi.,dan pencapaian prestasi tak dapat dihilangkah. Di kalangan sepak- bola profesional misalnya, bagaimana prestaisi Pemain atau tim yang bersangkutan seperti berapa kali kalah atau menang, atau menjuarai suatu tumamen akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup klub yang'be*rsangkutan. Jadi, olahraga profesional dap~t kita katakan. sebagai perkembangan lebih lanjut dari olahraga kompetitif Yang merupakan pencapaian prestasi dan kemenangan.
Jika ditinjau dari motif berolal~raga, maka lawan dari olahraga profe¬sional adalah olahraga amateur. Hingga sekarang-masih kuat Pertenta- ngan di kalangan federasi olahraga internasional tentang siatus amateur dan profesional. Seperli dalam cabang bulutangkis misalnya, para pemain yang berstatus proltesional tidak Games oleh IBF untuk mengikuti kejuaraan resmi seperti perebutan "Piala Thomas", atau tur- Haman lain yang resmi misalnya Asian Gaes dan lain-lain. Namun de- mikian, kenyataan bahwa olahraga profesional itu telah ada dan berkembang sama sekali tak dapat dielakkan. Masalah pokok mengapa tarkan dalam berbagai diskusi ialah, engapa para olahragawan tidak untuk memperoleh keuntungan material dari keahliannya? Bukankah berlatih juga uga dapat disebut sebagai investasi Yang kaiak bisa mendatangkan keuntungan ekonomi?
3. 0lahraga Rekreatif
Selain kedua Janis olahraga yang dijelaskan tadi, suatu gejala sosial budaya untuk diamati dalam masyarakat modern ialah budaya yang menarik pertumbuhan kegiatan olahraga untuk mengisi waktu senggang. Di- samping itu, semakin gist usaha untuk mempromosi olahraga di kalangan masyarakat lugs, sehingga olahraga bukan semata-mata merupakan monopoli sekelompok masyarakat yang berkemampuan lebih balk, ter.' UVIM30alarn lial keterampilan. Gerakan untuk mempromosi olahraga (sport for all) semakin meluas di Indonesia.
Tujuan pokok dari olahraga rekreatif ialah untuk meningkatkan ke¬sehatan secara menyeluruh, balk fisik maupun mental. Yang paling po¬puler, seperti di Indonesia misalnya. olahraga rekreatif bertuit4an untuk meningkatkan kesegaran jasmani. Bermacam-macam klub senam turn¬buh di lihgkungan masyarakat dengan para peserta berasal dari kalangan wanita atau ibu tumah tangga. Pada setiap pagi Minggu, di kota- kota be. sar seperti di Jakprta, Bandung, Surabaya, clan lain- lain, selumlah besar anggota masyarnkatmelakukan kegiatan olahraga. rekreatif. gerakannya ringan dan tidak diorganisasi dengan ketentuan atau per¬aturan yang ketat. Sementara itu, tujuan yang paling menonjol juga men¬cakup aspek meritalseperti memperoleh kesempatan berafiliasi dengan anggota masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan untuk bergembi¬ra bersania-same sebagai kompensasi dari ketegangan hidup sehari-hari yang mendikte orang untuk mengerjakan tugas-tugas rutin yang dapat membosankan.
4. Olahraga Pendidikan
Olahraga pendidiken adalah suatu domain olahraga yang spesifik yang diselenggarakandi lingkungan lembaga pehdidikan formal. Aktivi¬..tas jasmani pads uniumnya atau kegiatan olahraga pads khususnya & manfaatkan sebagai "alat" untuk mencapai tujuan pendidikan,, Dengan kata lain, olahraga merupakan bagian integral dari proses pendidikan pa¬da umumnya. Seperti kegiatan pendidikan lainnya, olahraga pendidikan direncanakan demikian rupa untuk mencapai perkembangan total dari kepribadian peserta didik yang mencakup bukan Baja perkembangan fi- sik, inteligensia, emosi, dan sosial, tapi juga perkembangan aspek moral clan spiritual, Karena itu, kegiatan olahraga pendidikan yang di dalamnya jugs terdapat kegiatan olahraga kompetitif, terpilih sedemikian rupa dan dilaksanakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah kesehatan, kesiap¬an,dan kematangan peserta didik, dan sistem nilai di masyarakat,yang bersangkutan; Jadi, olahraga pendidikan bukan semata-mata berkepen
tingan dengan pembinaan fisik, tapi pembinaan individu secara utuh.
c. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi
Dari uraian di alas, cukup jelas bagi kits bahwa penguasaan keterampilan berolahraga dan pencapaian presatasi pada berbagai tingkat sesuai dengan domain olahraga yang bersangkutan merupakan unsur pokok, Karena itu, dalam buku ini uraian tentang bagaimana prosespenguasaan keterampilan gerak dalam pengertian umum atau penguasaan saan tehnik. tehnik olahraga dalam pengertian khusus merupakan fokus peenbahasan. Selain itu, berkaitan dengan perhatian masyarakat yang semakin me¬ningkat terhadap olahraga kompetitif untuk mencapai prestasi, make da¬lam bagian berikut ini akan dibahas secara singkat faktor-faktor yang memppngaruhi pencapaian prestasi. Faktor-faktor yang dimaksud, digo¬Iongkan menjadi.dua kategori, yaitu: (1) faktor eksogen dan (2) factor endogen. Yang,dimaksud dengan faktor ondogen ialah astribut atau ciri¬cid yang melekat pada aspek fisik dan psikis seseorang, sementara fak¬tor eksogen diartikan semua faktor di luar diri individu, baik yang ;erclapat di lingkungan tempat berlatih maupun di lingkungan. yang lebih umum penprtiannya idperti lingkungan fisikal-geografis; eko'nomi, sosial, dan budaya; bahkan tradisi kegiatan yang telah melekat di sjjatu lingkungan masyarakat tertentu Peningkatan rekor atau pencapaian prestasi dalam kompetisiolahra¬ga Selama sekitar due dasawarsa terakhir ini cukup padat,bahkan pengembangan olahraga. Untuk mencapai prestasi yang tinggi, mutu sumber daya manusia itu harus didukung oleh suatu perencanaan yang sistema¬tik tentang pemandua4i dan pembinaan atlet-atlet berbakat. Akhimya da- pat.kita simpulkan, peningkatan kualitas sumbbr daya manusia Indone¬sia merupakan dasar bagi peningkatan prestasi dan pengembangan po,- tensi yang ada mau tak mau harus s dibina melalui metode ilmiah agar mampu bersaing di tingkat dunia.
1. Fakor-faktor Eksogen
Dalam kaitannya yang Iebih sempit, faktor eksogen diartikaniartikan seba gai faktor yang secara ,langsung berkaitan dengan pelaksanaan latihan. Tempo peningkatan prestasi berkaitan erat dengan jumlah dan tempo peningkatan beban latihan (Roger, 1982). Sebaliknya, kualitas latihan itu sendiri, khususnya bagaimana latihan atau pengajaran diorganisasikan juga akan mempengaruhi pembebanan untuk meningkatkan prestasi. Beban latihan berkaitan langsung dengan tuntutan spesifik dari suatu cabang olahraga; ruang lingkup latihan, dan derajat kemampuan seseorang un¬tuk mentoleransi stress atau beban latihan. Hokum ini bukan saja berla¬ku'bagi pembinaarl di lingkungan olahraga kompetitif tapi juga dalam konteks olahraga pendidikan. Selanjutnya dapat dijelaskan, latihan untuk atlet tingkat nasianal atau internasional ditandai dengan kegiatan latihan keras, tapi dis6rtai dengan perencanaan yang efektif. Karena itu, beban latihan yang berat harus diikuti dengan relaksasi yang cukup. Dapat di¬simpulkan, pengaturan beban latihanmemiliki kaftan erat dengan pe- ningkatan prestasi, di samring,dipengaruhi oleh beberapa faktoryang di¬sebut faktor-faktor eksogen.
Di antara beberapa faktor eksogen ialah sebagai berikut: kebiasaan hidup atlet yang baik. Beberapa faktor yang terkait dengan kebiasaan hi¬dup yang baik yang perlu diperhatikan oleh pars pelatih ialah tidur yang cukup: atlet tidak merokok atau minum alkohol atau minuman lainnya yang banyak mengandung kafein; dia juga memiliki pola hidup teratur Yang ditandai dengan keseimbangan antara keria dan istirahat, dan pe¬rawatan tubuh. Kesimpulannya, atlet harus memiliki pola kebiasaan hi- dup yang baik, termasuk tidur cukup, diet yang optimal, mencegah pe-makaian alkohol atau -perangsang lainnya, termasuk kehidupan seks yang normal dan menyukai kegiatan rekreatif.
Kondisi lingkungan di many atlet tinggal juga harus baik. Apakah ling¬kungan keluarga, guru, teman sejawat, atau tempat bekerja memiliki si¬kap positif terhadap olahraga dan membantu membangun ambisi men capai prestasi merupakan faktor yang ikut menentukan. Perhatian tian yang cukup, penghargaan clan dukungan moril dari Iingkungan sosial, bahkan kritik (termasuk dari kalahgan m~'dia massa) berpengaruh terhadap atlet. Karena itu, pelatih'-harus renbetahui bagaimana mengatasi masalah¬masalah yang bersifat kependidikan, termasuk upaya'menjaiin kerja sa¬ma dengan orang tua. kepala sekolah atau Iingkungan tempat atlet yang bersangkutan bekerja.
Selain faktor di atas, kondisi material di mans latihan berlangsung ju¬gs mempengaruhi peningkatan prestasi atlet yang bersangkutan. Latih¬an pads dasarnya bertujuan untuk mencapai efisierisi gerak dalam si¬tuasi yang spesifik sesuai dengan cabang olahraga yang bersangkutan. Dengan kata lain, latihan harus dilaksanakan dalam kondisi yang akan di¬jumpai 6alam pertandingan clan kondisi yang memungkinkan pencapai¬an prestasi, termasuk penguasaan tehnik olahraga yang bersangkutan dapat berlangsung seoptimal mungkin. Karena itu, adalah lebih balk bagi atlet untuk terbiasa dengan pakaian, perlengkapan atau kondisi material lainnya yang dibutuhkan suatu cabang olahraga.
2. Faktor-Faktor Endogen
Tidak semua atlet akan mencapai prestasi tinggi, meskipun dia telah mengikuti latihan berat. F.aktor-faktor seperti anatomi, fisiologi, clan sis- tem persyarafan berpengaruh langsung terhadap limit prestasi seseo¬rang. Karakteristik yang spesifik dibutuhkan bagi setiap cabang olahraga. Ukuran rata-rata (parameter) seperti tinggi, berat, ratio tugs perlu diperhi¬tungkan dalam memilih atlet. Karakteristik bagi pemain bola voli atau bo¬la basket misainya,tentu berbeda dengan karakteristik pelari jarak pen¬dek atau perenang! Namun demikian, ciri-ciri fisikyang ideal tidaklah me¬rupakan jaminan untuk mencapai standar prestasi tinggi.. Kesemua fak¬tor tersebut tadi hariya merupakan pra kondisi untuk berprestasi. Bebe-rapa kasus malah ada yang menunjukkan kekecualian, yakni.seorang atlet r-hampu berprestasi tinggi meskipun terdapat,kekurangan ciri-ciri fisik yang ideal. Tapi, kekurangan itu diatasinyq dengan penguasaan teh¬nik yang sempurna, atau motivasi yang kuat. Akhirnya dapat kita simpul¬kan, adalah sulit untuk memberikan jawabari tu*ntas, apakah faktor ekso¬gen atau endogen yang lebih dominan pengaruhhya'tdrhadap prestasi sukar ditentukan.
d. Isu dalam pembinaan Olahraga di Indonesia
Selama satu dasawarsa terakhir ini terdapatkernajuan dalam perkembangan olahraga di Indonesia, paling tidak dalam jenis-jenis cabang olahraga yang dilaksanakan oleh top-top organisasi yang bersangkutan. Dalam PON X1/1985 yang Ialu misalnya, terdapat 43 cabang olahraga di¬.pertandingkan. Namun demikian kita masih belum puss dengan penca¬paian prestasi, Sehingga ada semacam kesenjangan yang lebar antara harapan 'dan I kenyataan. Sumber utama dari kesenjangan itu ialah me-ningkatnya aspirasi masyarakat olahraga untuk mencapai prestasi di sa¬tu pihak, Sementara kemampuan pembinaan yang terdapat di kalangan top-top organisasi sangat terbatas. Hal yang samb jugs terjadi di Iing¬kungan lembaga pendidikan. Produktivitas pengalaran dalam bentuk pe¬ningkatan keterampilan berolahraga, kesegaran jasrnani misalnya masih kurang memenuhi harapan. Sehubungan dengan masalah pokok dalam pembinaan olahraga di Indonesia, beberapa persoalan kritis akan dibahas sebagai berikut:
1. KeUmpangan Sumber-Daya
Ketitnpangan sumber daya rnerupakan gejala yang Mencolok dalam pembangunari olahraga di Indonesia, di samping ketimparigan dalam ke¬mampuan mengelola olahraga. Kapabilitas yang masih belum merata ini, tercermin dalam kemampuan setiap provinsi yang ada di Indonesia un- tu-'k merebut medali dalam PON. Secara umum dapat disimpUlk6n, ma¬sih ada kesenjangan prestasi olahraga di pulau Jawa dan di luar J.awa. Kesenjangan ini dapat dikaitkan dengan kesenjangan surnber daya ma nusia. pengadaan biaya pembinaan yang memadai, termasuk fasilitas olahraga yang cukup
Kesenjangan tersebut juga tercermin dalam penbadaan biaya bembi¬naan untuk olahraga-prestasi dan olahraga pendidikan di sekolah-seko¬lah. KurikuluM olahraga di sekolah kurang didukung oleh fasilitas yang memadai yang memungkinkan untuk menyalurkan potensi para siswa. Kondisi kelas yang dipadati oleh iumlah siswa yang banyak, termasuk kelangkaan guru olahraga di daerah terpenciijuga menyebabkan kualitas pengaiaran di sekolah tidak memadai untuk menanamkan ketrampilan dasar yang baik.
2. Lemahnya Kemampuan Manajemen
Pemborosan di lingkungan top-top olahraga yang mengelola kegiat¬an olahraga kompetitif, agaknya sukar dielakkan karena lemahnya ke¬mampuan r-nanajemen kegiatan olahraga itu sendiri. Pembinaan olahra¬ga membutuhkan kemampuan profesional. Hal itu, bukan saja dalam pengertian para pembina harus menumpahkan sebagian'besar waktu¬nya untuk mengelola kegiatan, tetapi mereka memiliki pengetahuan, si¬kap dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan olahraga modern. Di antara beberapa aspek manajemen yang lemah dalam pembinaan olah¬raga di Indonesia ialah perencanaan, di samping aspek lainnya seperti koordinasi, supervise dan evaluasi. Karena itu,.Pendekatan holistik, Yang menekankan pengintegrasian seluruh kegiatan secara harmonis dalam" satu'sistem nasional merupakan landasan pokok untuk mencapai kema¬juan yang diharapkan. Negara-negara di Eropah misalnya, telah menco¬ba meletakkan dasar-dasar pembinaan yang menyeluruh pads perte¬ngaha'n.tahun 1950-an. Sister yang mereka re6canakan barn berkem¬bang seperti apa yang diharapkan pads pertengahan tahun 1970-an. Jade, dibutuhkan waktu tak kurang dari 20 tahun. 'Bukti-bukti banyak me- nunjukkan bahwa pencapaian kemajuan olahraga melalui perencanaan jangka panjang. Amerika Serikat sendiri misalnya mencoba meletakkan sistem keolahragaan nasional yang mantap pads tahun 1982, termasuk upaya mengejarketinggalan mereka dalam teknologi peralatan olahraga dari negara-negara-Eropah Timur. Komite Olympiade Amerika memper¬kirakan sistem yang mereka.rancang akan nampak hasilnya sekitar ta-hun 1992 Yang akan datang. Jadi, dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun
sepihak, ter-lepas-lapis antara satu sama lain, sehingga setiap bagian si¬buk sendiri-sendiri. Akibat lebih lanjut ialah banyak surnber. days yang dikon'sumsi-oleh berbagai kegiatan, tapi tidak mengarah kepada penca¬paian tujuan pembinaan nasional yang terukur dalam pertandingan olah¬raga int&nasibnal seperti Asian Games, atau Olympiade.
Pendekatan secara parsial, yang teriepas -satu.sama lain memang akan menimbulkan ketidak teraturan. Bahkan ada kecenderungan dalam situasi yang tidak terpadu itu, terdapat krisis otorifas. Lemahnya kepemimpinan merupakan ciri yang nampak hampir pads setiap top organisa¬si. Keputusan yang dibuat Bering tidak didukung oleh informasi yang me¬madai.
3..Kurangnya Investasi Ilmiah
Dalam kaitannya dengan penerapan metode yang efisien dan efektif, salah satu.masalah yang paling remit dalam kerangka pembinaan olahra¬ga di Indonesia ialah masih kurang investasi ilmiah. Bahkan Bering, Iatihan diselenggarakah berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang semu" tanpa didukung oleh bukti-bukti yang cukup, terkecuali -opini atau pe¬ngetahuan lainnya Yang tidak teruji secara sistematik. Kasus. semacam ini kits jumpai pads hampir semua cabang olahraga, termasuk cabang Yang popular seperti bulutangkis dan sepakbola. Sebagai contoh, masih belum terpecahkan pertentangan paham ngan paha antara para pelatih, apakah perlu latihan kondisi fisik yang spesifik atau tidak bagi para'pemain bulu¬tangkis. Beberapa pelatih bulutangkis mengatakan, latihan kondisi fisik seperti daya tahan atau kekuatan tak perlu dilatih khusus karena dengan sendiririya terlatih melalui latihan tehnik atau bermain bulutangkis. Di lain pihak, beberapa pelatih berpendapat, latihan kondisi fisik k yang khu- sus perld. dilaksanakan karena sangat mendukung pemeliharaan atau peningkatan prestasi. Belum ada penelitian yang intensif tenting masalah tersebui sehingga Masing-masing pihak berpegang pada pengalam atau pendapatanya sendiri Dal'am keadaan, masih kurang penerapan yang dapat diandalkan, tentang juga .masih terdapat Pada pemahaman yang setengah-setengah tentang pengetahuan ilmiah itu seoerti misalnya peranan V0-2. max sebagai pengertahuan. ilmiah itu. Seperti misalnya peranan ba prediktor.prestasi.',peranan hemoglobin '(Hb),'.pehgaruh latihan besi (weight training) terhadap otot yang kuat tapi kak.u dan.sebagainya. Kurangnya pemahaman terhadap korisep teori, bahkan penerapannya dalam kondisi pembinaan 'olahraga antara lain disebabk6n karena para pembina di lapangan kebaniyakan ticlak memperoleh pendidikan atau Iatihan khusus untuk menguasai prinsip-prinsip ilmiah. Sementara itu, se¬bagian teori memang masih membutuhkan pengujian lebih lanjut di lapangan. Sebab yang paling nyata adalah, masih terdapat kesenjangan a nilta- ra teoritikus dan praktisi, termasuk guru olahraga atau pelatih. Penyebar luasan pengetahuaA ilmiah masih terbatas pada sekelompok ilmuan. Ke¬cenderungan ini antara lain disebabkan karena tidak ada satu desain khu¬sus dari suatu kegiatan; termasuk media, untuk menyebar luaskan infor¬masi ilmiah itu.
4. Hambatan Budaya
Manusia berbuat sebagai pencipta budaya dan sekaligus sebagai pengemban budayanya. Dengan kata lain, manusia berperilaku atas da¬sar kebudayaannya yang mencakup kepercayaan, nilai-nilai, dan norma¬norma yang terdapat didalamnya. Olahraga modern mengandung nilai - ¬nilai tertentu seperti orientasi kedepan ' dan maju terus ke depan (progre¬sif), rasional, penghargaan terhadap waktu, dan pragmatic (benar berda¬sarkan fakta yang ada). Hambatan budaya nampak memainkan peng¬aruhnya dalam perkembangan olahraga di Indonesia. Perilaku kurang agresif mencapai hasil yang lebih, balk, pembinaan "potong kompas" di mans orang tak sabar menunggu hasil melalui proses yang panjang, per¬mainan tidak fair, dan kasus-kasus di lingkungan persepakbolaan nasional merupakan contoh perilaku yang mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut seseorang. Ada kecenderungan, pars atlet le¬bih menghargai ganjaran materi ketimbang kepuasan spiritual melalui aktualisasi diri, dan mengelak kerja keras untuk mencapai hasil yang lebih baik.
e. Keuntungan dan Pengaruh Negatif Olahraga
Meskipun dalam buku ini pokok pembahasan ialah teori dan mietode belajar keterampilan gerak dalam olahraga, penting juga bagi kits untuk memahami keuntungan yang diraih dari olahraga dan"lengaruh negatif dari olahraga kompetitif. Karena itu, guru atau pelatih olahraga perlu me¬maksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh, dan menekan sekecil mungkin pengaruh'negatif yang mungkin_timbul, khususnya dari kegiatan olahraga kompetitif.
1. Pengaruh Positif dari Olahraga
Anthony (1971) memaparkan hasil analisisnya bahwa olahraga pen¬didikan dan olahraga kompetitif merupakan "alat' yang ampuh dalam perjuangan untuk menciptakan kernajuan sosial. Dan karena itu, instru¬men tersebut tak dapat diabaikan untuk mempercepat laju pernbangun¬dn. Pernyataan itu dikutip oleh Fox (1978) dalam artikelnya yang berjudul "Progress in The 'Third World'. Fox juga mensitir kembali pendapat Horn (1971) yang menggambarkan bahwa olahraga pendidikan dan olah¬raga prestasi di negara-negara sedang membangun dapat memberikan sumbangan bagi kesehatan, pertumbuhan prestasi ind.ividual, mendo¬rong integrasi sosial dan nasional, mempromosi identitas. nasional, me¬melihara tradisi budaya, sebagai alat bagi pengakuan internasional, dan jalan bagi peningkatan status sosial.
Berdasarkan analisis pads tingkat makro, Fox juga mengetengahkan peranan olahraga di Afrika misalnya, sebagai alat untuk mencapai tujuan Yang b6rsifat politic dan sosial. Selain itu, kasus Kuwait juga diketengah¬kan di mans olahraga telah memainkan peranan utama untuk mengubah masyarakat nomadeh menjadi sebuah struktur masyarakat kola modern (Anthony. 1975).
Ruskin (1975) mensintesis beberapa laporan yang mengetengahkan keuntungan yang diperoleh dari olahraga. Dampak dari partisipasi seseo¬rang dalam kegiatan olahraga adalah (a) pembentukan perilaku dan kepe¬mimpinan'demokratis; (b) menyumbang kepada pembentukan watak (Declaration of Sport, 1964); dan (c) sumbangan positif lainnya seperti perilaku berprestasi, dan kepatuhan terhadap norms-norms sosial (Schafer, 1969).
Beberapa keuntungan dari kegiatan olahraga memang dapat kits jumpai dalam kenyataannya, dan sebagian mungkin hanya berupd harap¬an belaya. Karena itu, guru atau pelatih olahraga harus mampu mengon¬trol lingkungan dan kondisi latihan guns memaksimalkan keuntungan, khususnya dari olahraga.
2. Dampak Negatif dari Olahraga Kompetitif
Olahraga kompetitif merupakan faktor yang berpengaruh untuk me¬ningkatkan sating pengertian dan memupuk persatuan nasional. Olahra¬ga merupakan alat pendidikan yang vital. Bertentangan dengan penda¬pat, tersebut, Ruskin juga memaparkan potensi negatif dari kegiatan olahraga kompetitif yang berlebih-lebihan. Beberapa di antaranya seba¬gai berikut:
- Distorsi karakter atlet (Yativ, 1969; Lakie, 1964).
- Bahaya partisipasi. pasif sebagai penonton (Kleinman, 1960; Nash, 1938);
f. Tuntutan Terhadap Metode Ilmiah
1. Efektifitas Pengajaran/Latihan
Masalah utama–dalarn konteks pengaiaranAatihan ola.hrada, baik di lingkungan sekolah formal maupun klub-klub olahraga ialah peningkat¬an efektivitas pengaiaranAatihan itu sendiri. Hal itu didorong oleh kei¬Jiginah para orang tua murid, atau para penggemar olahraga yang sema¬kin meningkat untuk mencapat tujuan yang diharapkan yakni keterampil¬an berolahraga yang lebih baik atau prestasi. Efektivitas pengajaran/latih¬an itu berkaitan.erat dengan kualitas instruksional, dan kualitas instruk-sional itu-sendiri erat kaitannya dengan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan menerapkan teori belajar-mengajar ketrampilan (skill) suatu cabang olahraga.
Ada dua kriteria yang dapat dipakai untuk menilai efektivitas pe¬ngaiaran/latihan. Pertama, kriteria korelatif, yakni suatu latihan/pei igaiar¬an dikatakan efektif dalam kaitannya dengan tujuan yang diharapkan. Se¬makin mqndekati tujuan yang ingin dicapai, semdkin efektif pengajaran/ latihan itu. Kriteria yang kedua, konsepsi normatif, yakni suatu pengajar¬an/latihan dikatakan efektif atau tidak. dinilai berdasarkan suatu model mengaiar/melathyang baik yang diperoleh dari teori.
Dapat disimpulkan, yang dimaksud efektivitas pengajaran / latihan ialah keberliasitan dilam proses pembiasaan atau sosialisasi siswa/ atlet. dan pengembangan sikap serta pengetahuan yang mendukung pencapaian ketrampilan yang lebih baik dalam kerangka program pembi¬naan. Efektivitas pengajaran/latihan juga erat kaitannya dengan efisiensi.
2.Efislensf PengajaranlKepelatihan
Tuntutan terhadap metode yang efisien didorong oleh kenyataan Yang terdapat di sekolah-sekolah formal dan di klub-klub olahraga, ter¬utama kelangkaan fasilitas dan somber days lainnya. Selain itu, kelas Yang besar dengan jumlah siswa yang banyak juga merangsang upaya pengajaran/latihan yang lebih memperhatikan efisiensi.
Kebutuhan akan metode yang efisien dalam pengaiaranAalihanolah¬. rbg7a*diIand'asroIeh beberapa alasan. Pertama, efisiensi akan menghe¬mat waktu,*energi, aiau biaya. Kedua, metode efisien akan memungkin¬16h para sisw.a, atau atlet Ontuk menguasai tingkat ketrampilan yang le¬bih tinggi.'Ber6itan dengan hat ini,'pengalamari sy'kses akan merupakan umpan'balik (feed-back)*dan mernbangkitkan motivasi siswalatlet untuk belajar dan berlatiK. Sernakin berhasil siswa dalam kegiatan belaiar, se-makin disukainya kegiatan tersebut.
3. Puncak Usia Berprestasi
Barangkali suatu alasan yang paling penting dan operasional sehu¬bungan dengan dibutuhkannya metode belajar/berlatih yang efektif/ efisien ialah berkaitan langsung dengan masalah puncak usia berpresta¬si. Maksudnya ialah bahwa ada masa-masa peka untuki memulai be¬lajar/berlatih suatu cabang olahraga, dan masa-masa akhir yang me¬mungkinkan orang nibi-icapai puncak prestasi. Karena itu, dalam buku ini gejala tersebut kita sebut dalam istilah puncak usia berprestasi. Proses tersebut dicapai melalui masa pembinaan yang relatif panjang dan ber¬kesinambungan, dan dimulai pada usia tertentu yang.berbeda-beda'pa¬da setiap cabang olahraga. Proses panjang itu tprbagkbagi menjadi be¬berapa tahap, dan pada setiap tahap diberikan pembinaan yang khas, se¬suai dengan kemampuan atlet.
Sebagai gambaran umum, dapat kita kemukakan kategon usialpe¬mula dan tingkat lanjut dalam cabang olahraga tertentu. Data yang dipa¬parkan di sini dikutip dari Jermah Timur (lihat Harre, 1982, h. 16). Dengan sendirinya, akan ada variasi, lebih-lebih jika ingin diterapkan untuk anak¬anak Indonesia yang sangat berbeda dalam hat struktur anatomic, bah¬kan tahap kematangan fisiknya; jika dibandingkan dengan anak-anak dari negara Barat. Data yang diperoleh itu menunjukkan, latihan bagi pemula dalam cabang seperti skating, senam, lompat galah, loncat indah dapat berlangsung sejak'usia 4 dan 6 tahun. Latihan tahap lanjut njut dimulai antara 8 dan 11 tahun dan berlangsung hingga usia 16 tahun. Puncak prestasi akan tercapai pada usia yang berbeda untuk pria dan wanita. Daiam ca-bang senam dan skating, di kalangan wanita prestasi tertinggi tercapai pada usia 13 dan 15 tahun, dan dikalangan pria dalam senam antara 17 dan 19 tahun.
Selanjutnya dalam cabang olahraga seperti lari cepat jarak pendek, lompat jauh, nomor-nomor lempar, dan nomo'r lompat dalam ski (ski-jumping) yang membutuhkan kecepatan-kekuatan, dalam cabang olah¬raga kompetitif antara dua lawan seperti anggar, tinju, dan judo, latihan dapat dimulai pada usia 9 dan 12 tahun: Latihan lanjUtan antara usia 13 dan 14 dan berakhir pada usia 16 dan 17 tahun. Puncak usia berprestasi dalam cabang-cabang olahraga tersebut dimulai antara 17 dan 22 tahun. Dalam cabang olahraga yang membutuhkan daya tahar seperti lari jarak jauh, mendayung (beregu atau perorangan), latihan pemula dapat dimu¬lai pada usia Ontara 10 dan 12 tahun, diteruskan dengan lat ihan*tahaplan¬jut, yang dapat dilakukan antara usia 14 dan 18 tahun. Puncak usiaber¬prestasi, antara 17 dan 21 tahun. Dalam kategori tersebut, cabang be¬ renang menempati posisi khusus, karena para pemula sering mulai ber¬latih pada usia 6 tahun. Tahap latihan lanjutan berlangsung antara usia 8 dan 12 atau 13. Puncak usia berprestasi mulai antara 13 dan 15 tahun.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa pencapaian puncak pres¬tasi dibatasi oleh limit usia. Karena itu, isu efektivitas/efisiensi sangat menonjol dalam pembinaan olahraga. Dalam keadaan seseorang terlam¬bat memulai belajar clan metode yang diterapkan tidak efektif, maka da¬pat dibayangkan prestasi puncak tak akan tercapai.
B. STRUKTUR ILMU KEOLAHRAGAAN
a. Ilmu Keolahragaan sebagai Interdisiplin
Melalui massa yang cukup panjang, meskipun tergolong masih muda, ilmu keolahragaan terus berkembang. Sebagai ilmu yang masih muda, il¬mu keolahragaan pada dasarnya bukan sebagai sebuah disiplin ilmu .yang berdiri sendiri, tapi sebagai interdisiplin. Maksudnya ialah bahwa terdapat sejumlah subdisiplin yang berintegrasi, rnernbangun sebuah teori umum, yang sebagian di antaranya meminjam konsep- konsep yang telah dikembangkan dalam sebuah disiplin yang telah mandiri dan mapan. Sebagai contoh, psikologi olahraga meminjam beberapa konsep dasar dalam psikologi umum dan psikologi sosial, seperti konsep moti¬vasi, kecemasan (anxiety), pei-sepsi, sikap, dan lain-lain. Selanjutnya, konsep-konsep dasar itu dikembangkan dan dijadikan titik tolak untuk mengembangkan teori berclasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan seca¬ra sistematik dari kegiatan olahraga itu sendiri.
Dalarn sosiologi olahraga misalnya, konsep yang dikembangkan para ahli juga meminjam konsep dalam sosiologi. Anggapan dasarnya ialah olahraga sebagai satu gejala sosial. Atas dasar itu, maka dikenal konsep seperti mobilitas sosial, konflik, kekompakan dalam kelornpok, sintalitas kelornpok, dan lain-lain yang dipandang cocok untuk memahami perilaku individu* di tengah-tengah kehidupan sosial dalam konteks olahraga. Adaptasi konsep atau teori dari disiplin yang telah mandiri; seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, dan biologi, menghasilkan konsep dan teori baru.
Himpunan hasil-hasil penelitian yang Baling melengkapi atau me¬nambah dan rnemperkaya pengetahuan yang telah diperoleh melalui ku¬run waktu yang cukup panjang menghasilkan kerangka ilmu keolahraga¬an sebagai interdisiplin. Ilmu keolahragaan adalah satu konstelasi dari fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan teori-teori tentang kegiatan manusia da¬lam olahraga. Sementara itu, ada kecenderungan bahwa para Haitian di bidang olahraga lebih memusatkan perhatiannya untuk memecahkan masalah praktis dalam olahraga. Meskipun demikian, merekajuga bertu¬juan untuk merangkum dan merumuskan pengertian-pengertian yang konjpak tentang fenomena olahraga, sehingga seolah-olah tersimpan pemanfaatan komputer, telah membantu para ilmuan untuk mdhg¬analisis secara cermat kaftan antara berbagai variabel yang kompleks hingga para ahli s6n) pai pada suatu kesimpulan yang cermat pule. Akhir¬nya dapat kit a simpulkan, dalam pengembangan ilmu keolahragaan itu, para ahli menerapkan metodologi clan tehnik-tehnik penelitian yang telah dikembangkan dalam bidang ilmu pengetahuan alam clan pengetahuan sosial dengan memperhatikan beberapa modifikasi clan adaptasi yang cocok dengan masalah-masalah dalam olahraga.
b. Objek Studi Ilmu Keolahragaan
Karaktedstik utama dari suatu ilmu ialah bahwa ada objek studinya yang . unik, clan metodologi yang sahih (valid) untuk memecahkan masa¬lah penelitian. Karena itu, perlu juga dibahas, meskipun secara sepintas, terutama tentang objek studi ilmu keolahragaan. Penting untuk dicatat. setiap disiplin dari ilmu keolahragaan pada umumnya tertuju pada unit analisis, yakni fenomena perilaku individu dalam konteks olahraga. Ke-khususannya memang ada. Misalnya psikologi olahraga membahas ge¬jala psikologis individu atau seorang atlet dalam kegiatan olahraga. Bio¬mekanika olahraga membahas masalah efisiensi gerak ditinjau dari hu¬kum-hukum riiekanika. Dengan kata lain, objek studi ilmu keolahragaan ialah perilaku individu dalam pengertian luas, mencakup perilaku dari fungsi organik dalam situasi olahraga di mans terdapat struktur gerak yang umum clan yang khusus, atau yang paling sederhana clan yang paling kompleks.
Atas dasar uraian di.atas, jelas bagi kita bahwa objek studi ilmu ke¬olahragaan mencakup gejala perilaku manusia yang melibatkan dimensi fisik dan psikis. Masing-masing subdisiplin membatasi dirinya pada objek yang lebih khas.'sesuai dengan sifat dari ilmu pengetahuanyakni mempelaiari suatu objek tidak secara keseluruhan (holistik).Kecer)de¬rungan ilmw pengetahuan yaitu rnemilah-milahkan suatu objek. Karena itu, fisiologi misalnya hanya mempelajari perilaku organ-organ tubuh, menggambarkan keaclaandan proses kerja dari setiap organ dalam men¬jalankan fungsinya sebagai bagian dari sistem. Perlu diketahui, yang di-maksud dengan sistem adalah suatu keseluruhan, s-ebuah entitas, yang terdiri dari beberapa bagian atau elemen, dan setiap elemen itu menja¬lankan fungsinya m6sing'i-nasing dan sating bertalian antara satu dengan lainn*ya, Karena itu pule kita mergenal istilah sistem pernafasan clan pe¬redaran darah dalam fisiologi.
c. Elemen dari Ilmu Keolahragaan.
Seperti telah dibahas dalarn uraian di muka, ilmu keolahragaan tidak cenderung sebagai ilmu yang mengintegrasikan berdiri sendiri Karena itu, dalam bagian ini kita akan membahas berapa subdisiplin elemen-eiemen dari ilmu keolahragaan, termasuk Iinqkup dan objek studi pads masing-masing subdisiplin, seperti tercermin dalarn bebera¬pa topik penelitian akhir-akhir ini.
Let Matveev (1984) dalam makalahnya yang berjudul "The Subject of General Sport Theory and Its Correlation with Sports Pedagogics" mengetengahkan kecenderungan utama dari teori umum olahraga se¬bagai intergrasi pengetahuan ilmiah yang bersifat lintas disiplin. Dalam proses pernbentukan pengetahuan ilmiah olahraga, kecenderungan ter¬integrasi dan diferensiasi terus berkembang..Maksudnya ialah, meski¬pun fenomena perilaku individu dalarn olahraga dibahas dari sudut disi¬plin ilmu yang terpadu satu sama lain, tapi masing-masing subdisiplin itu mengkhususkan dirinya pads objek studi tertentu. Sebuah subdisiplin baru, seperti psikologi olahraga. psikologi belajar keterampilan motorik misalnya, nampaknya masih terintegrasi dengan psikologi sebagai "induknya". Meskipun demikian, ada kecenderungan, subdisiplin yang baru itu mengembangkan dirinya menjadi sebuah tend spesifik tentang olahraga. Jadi, kecenderungan berintegrasi dan diferensiasi terus mene¬rus berinteraksi.
Yang menjadi masalah bagi kita ialah,' apakah elemen dari ilmu ke¬olahragaan, atau teori umum tentang olahraga? Dalam makalahnya yang telah kita sebutkan di atas tadi, Matveev jugs menggambarkan secara sepintas ruang lingkup ilmu keolahragaan yaitu: (1) konsepsi umum ten-tang hakikat dan kecenderungan perkembangan olahraga, bentuknya, fungsinya, dan kedudukannya dalam sist ' em sosial dan dalarn kehidupan individu; (2) teori tentang olahraga kompetitif; dan (3) teori tentang Iatih¬an (training) olahraga. Dapat kita sebagai sebuah disiplin yang terpadu, ilmu keolahragaan terdiri dari'materi pokok yang eras kait¬annya dengan.beberapa cabang ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam.
Lev Matveev tidak memberikan Hama secara khusus bagi disiplin ilmu tersebut•di atas sebagai payung bagi sebuah konste'lasi tdod.'Na¬mun.dia menekankan posisi dari salah satu subdisiplin yang disebut' "sport pedagogics" yang erat ' kaitannya dengan teori umum, 'atau ilmu keolahragaan. Matveev rupanya cenderung menganggap sport pedago- gic sebagai, subdisiplin pokok dalam ilmu keolahragaan. Apa ruang ling
d. Kesenjangan antara Teori dan Praktek
Tanya teori dan penelitian, praktek kedokteran tak akin berjalan. Sedemikian jelas kaitan antara teori dan prakteknya. Sebaliknya, dalam pro¬fesi pendidikan atau kepelatihan olahraga, seolah-olah tanpa teori pro¬gram pembinaan tetap berlangsung. Tidak ada guru yang diberhentikan, atau tidak ada pelatih yang dipecat karena perlakuan teori yang dapat di¬pertanggung jawabkan. Ilustrasi itu menunjukkan bahwa masalah ke¬senjangan antara teori dan praktek, atau kurangnya komunikasi antara teoritikus dan praktisi masih terdapat di lingkungan olahraga pendidikan atau olahraga kompetitif. Padahal, olahraga modern sangat membutuh¬kan suatu landasan teori yang kukuh.
Barangkali lebih jelas lagi persoalan tersebut, apabila kita simak contoh nyata seperti berikut. Dalam suatu kesernpatan ahli olahraga dari Amerika Serikat, Thomas P. Rosandich yang sangat banyak pengalam¬annya dalam membantu perkembangan olahraga clPnegara-inegaraAsia, Af rika, dan Timur Tengah, bertanya kepada pars peserta seminar ilmiah olahraga.tgl. 9 September 1987 di Jakarta dalam rangka Sea Games hal ini disebut pembina dalam istilah umum atau guru clan pelatih dalam istilah yang lebih khusus. Komunikasi itu kurang terjalin, karena ketiada¬.'an media yang memadai baik berupa media cetak maupun ke'sempatan berdialog secara intensif dalam kegiatan diskusi, seminar. atau loka )Carya yang terarah. Tak mengherankan jika banyak guru atau pelatih yang hanya mengandalkan pengetahuannya yang terbatas untuk meme¬cahkan masalah yang kian kompleks dan berubah coraknya.
Kecenderungan tersebut di atas antara lain terungkap dari beberapa studi kasus yang diselenggarakan oleh FPOK-IKIP Bandung (1985) de¬ngan kesimpulan antara lain, kebanyakan guru olahraga di Kotamadya Bandung memperoleh-informasi tentang pelaksanaan pengukuran clan evaluasi olahraga hanya dari materi perkuliahan yang clitefimanya selang beberapa tahun sebelumnya. Sernentara itu yang menonjol i alah. pro- ses sating membelajarkan terjadi antara sesama kolega. Maksudnya, guru-guru olahraga Bering meniru apa yang dikerjakan oleh rekan-rekan sepekerjaan.*Contoh lain, terungkap dari survei yang dilakukan Litbang' KONI Jawa Barat (1985) yang antara lain menunjukkan kebanyakan para pelatih tidak membuat rencana tertulis tentang kegiatan latihan yang akan mereka laksanakan. Tafsiran terhadap data yang terbatas itu pada dasa'rnya-menielaskan para pelatih muda khususnya kurang memahami prinsip-prinsip kepelatihan. Karena itu dapat dibayangkan apa yang me¬reka kerjakan sebagian di antaranya tidak berlandaskan pengetahuan ilmiah.
e. Menciutkan jurang Teori dan Praktek
Pengalaman tersebut tadi memberikan pelajaran bahwa terdapat mats rantai yang panjang antara teori dan praktek, sehingga harus ada usaha yang berencana untuk mempersempit jarak antara teori dan prak¬tek. Perbendaharaan pengetahuan dalam pembinaan olahraga akan di¬anggap mubalir.jika tak dapat diterapkan ke dalam situasi: praktis. Masa¬Ia'hnya sekarang ialah bagaimana menyebar luaskan spektrum informasi tersebut. Rupanya dibutuhkan perencanaan clan strategi yang tepat. Dalam pelaksanannya, siapakah yang bertanggung jawab ?
Meskipun sudah ada usaha menyebar luaskan informasi ilmiah, tapi banyak jugs contoh yang menunjukkan bahwa tidak semua informasi yang diterima oleh guru atau pelatih diterapkan ke Baum suasana peng¬ajaran atau kepelatihan. Masalah tersebut dapat dipahami dari teori ko¬munikasi. Hingga mans informasi itu menimbulkan pengaruh terhadap perubahan melalui kegiatan menerapkan informasi yang bersangkutan penataan paket-paket informasi, pemilihan saluran atau media. dan ka¬rakteristik khalayak penerima informasi. Untuk meningkatkan efektivi¬tas komunikasi, perlu diidentifikasi kesemua elemen yang mendukung atau yang menghambat proses transmisi informasi yang dimaksud. Miyasita (1984) me-nyarankan, agar hasil-penelitian dalam bio-mekanik diterapkan. ke dalam metode pengajaran atau kepelatihan, para peneliii perlu mengkomunikasikan penemuan mereka kepada-guru atau pelatih olahraga. Ada dua kemungkinan yang dapat diteml3O agar hasil peneliti¬an diterapkan ke dalam situasi pengajaran dan'kepelatihbn, terutama ber¬kaitan dengan pemilihan kelompok sasaran'penerim'a informasi. Peria¬ma, informasi disampaikan kepada orang yang be'rianggung jawab da¬lam pelaksanaan pengajaran seperti guru-guru olahraga di sekolah. Kedua, informasi ditujukan kepada orang yang berhsyrat untuk me- ngembangkan beberapa keterampilan pads setiap ling tan usia, dan Po- la-poly gerak yang mencerminkan polo gerak yang palm ideal ideal atau lebih efektif. Aspek kedua ini memang cocok untuk diarah'kan kepada para pe¬latih. Contoh tersebut menunjukkan pentingnya jenis informasi yang akan disampaikan dan penetapan kelompok sasaran yang akan menerima informasi itu.
Sumber informasi yang memiliki kredibilitas yang tinggi cenderung dianggap sebagai faktor mama yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Seorang ilmuan yang memiliki reputasi tinggi dala.m bidang¬nya misalnya, akan mampu berperan sebagai komunikator yang efektif. Selain itu, aplikasi teori tertentu dipengaruhi pula oleh karakteristik teori menurut persepsi individu atau khalayak penerima. Teori yang sudah po,- puler dan lazim dikenal lebih mudah diterima oleh individu atau khalayak ter-tentu. Sebagai contoh, dalam makalahnya yang berjudul "Theory Application" Ungrechts (1984) menjelaskan, pengaruh dari studi bio-. mekanik terhadap tehnik pengajaran atau kepelatihan terjantung pads fakta, seberapa jauh popularitas teop yang dikaji. Banyak, contoh lain s6- bagaimana pengalaman yang sering kita jumpai. Karakteristik informasi atau pembaharuan yang ditawarkan seperti ke'untu"ngan relatif y'an'g akan diperoleh dari cara baru, resiko, ongkos, dan fasilitas bagi penerapan hal baru. Kadang-kadang para guru atau pelatih cenderung menolak pembaharuan atau mengganti cara lama dengan cara baru ka¬rena mereka merasa lebih aman untuk memakai cara-cara lama ketim¬. bang cara bare yang menurut hemat mereka belum jelas hasilnya Karena itu, penting sekali bagi para perencana pembaharuan untuk inemilih apa informasi yang akan dikomunikasikan untuk menyeimpurnakan praktek pengajaran dan kepelatihan olahraga.
Karakteristik kelompok sasaran juga berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Deenikian Pula halnya dengan saluran yang dipakai. Komuni¬kasi tatap muka, termasuk peniruan perilaku di kalangan lemon. sejawat merupakan saluran yang efektif. Diskusi kelompok atau seminar cende¬Tung memb6kan pengaruh kepada kelompok yang terbatas, sementara media massa seperti Surat khabar cenderung membangkitkan kesadaran. Rupanya perlu dikombinasi saluran media massa dan tatap muka. Selain itu, perlu juga diperhatikan, para tokoh di sekolah atau klub olahraga yang efektif peranannya untuk menyeber luaskan informasi. Mereka sering disebut pemimpin informal. Sering terjadi, sikap dan opini mereka terha dap hal baru yang berasal dari luar berperan sebagai penyaring yang me¬nentukan lancar tidaknya penerimaan dan penerapan hal baru yang ber¬asal dari luar. Pelatih-pelatih yang disegani, guru-guru kawakan yang ber¬pengalaman merupakan contoh dari pemimpin informal yang efektif un¬tuk menyebar luaskan informasi di lingkungannya atau bahkan ke luar kelompoknya. Sebagai bagian dari strategi, pemimpin informal ini dapat dimanfaatkan. Ini berarti, merekalah yang pertama-tama dijadikan sasar¬an agar kemudian mereka teruskan ke anggota kelompok lainnya.
f. Fungsi Teori Ilmiah
Agar kita lebih paham tentang peranan ilmu keolahragaan yang ter¬susun berdasarkan teori-teori yang relevan, perlu juga dibahas, meski¬pun secara singkat. makna disip!in ilmiah. Yang dimaksud dengan di¬siplin ilmiah adalah suatu bidang pengkaiian yang berusaha untuk menje¬laskan himpunan gejala yang khan dengan memanfaatkan teori, konsep, dan metode penelitiannya sendiri. Seperti telah kita jelaskan di muka, sport pedagogy atau sport medicine merupakan contoh dari disiplin ilmiah dalam olahraga yang masing-masing memiliki wilayah kajian ajian masing-masing. Berkaitan dengan makna disiplin ilmiah, perlu juga kita jelaskan pokok-pokok pengertian lainnya tentang teori ilmiah, dan fungsi teori.
1. Teori Ilmiah
Apakah yang dimaksud teori ilmiah ? Banyak definisi tentang istilah tersebut. Dalam buku ini, definisi yang kita anus adalah sebagai berikut: "Teori adalah satu sistem untuk menjelaskan seperangkat gejala de¬ngan mempdrgunakan konsep dan hukum-hukum yang spesifik yang mengaitkan konsep yang satu dengan lainnya Jangan lupa, istilah sistem tersebut menunjukkan bahwa teori itu terbangun oleh konsep dan hukum.hukum yang sating berkaitan.
Ada pula rumusan lain yang menyatakan bahwa teori menyediakan suatu penjelasan-tentang gejala pertama-tama dengan jalan mengenal seperangkat konstruk teoritis. Sebuah-.konstruk teoritis adalah sebuah konsep yang dapat didefinisikan dalam pengertian abstrak atau.operasional (Borg & Gall, .1983). Sebuah definisi operasional pada dasarnya se¬cara langsung mengungkapkan kegiatan atau instrumen untuk meng¬ukur suatu konsep atau konstruk. Sebagai contoh, kekuatan dapat dide-finisikan sebagai kemampuan seke!ompok otot untuk mengerahkan te¬gangan guns mengatasi sUatu tahanan yang diukurdengan alai baku se¬perti hand dynamometer, atau leg ciynarr/Ometer. Jadi, konstruk tentang kekuatan dapat dide-finisikan secara operasional dengan menunjukkan kegiatan khas yang mencerminkan kapasitas seseorang membangkit¬kan tegangan otot untuk mengatasi suatu tahanan berupa beban.
Teori menyatakan hukum spesifik yang mengaitkan konstruk yang satu dengan lainnya. Ambit contoh teori reinforcement misalnya, terdiri dari hukum sebagai berikut: suatu perilaku (konstruk) akan diulang kem¬bali jika diikuti oleh suatu reinforcer (konstruk) ketimbang jika tidak diikuti oleh suatu reinforcer. Selanjutnya, teorwu mengandung beberapa tuju¬an. Konstruk teoritis mengidentifikasi kesamaan dari gejala tertentu. Teori reinforcement misalnya, menjelaskan perilaku tertentu sebagai akibat dari rangsang yang dikaitkan dengan reinforcement. Karena itu, dengan mempergunakan teori kita dapat mengenal pengalaman yang universal. Sementara itu, hukum-hukum dalam teori memungkinkan kita dapat memprediksi dan mengontrol gejala. Sesuai dengan contoh di atas, hukum reinforcement memungkinkan kita dapat mengorganisasi rangsang atau mengontrol perilaku siswa atau atlet dengan cars mem¬berikan tipe-tipe penguat yang cocok dan diberikan pads saat yang tepat.
Konstruk dan hukum dari suatu teori memiliki fungsi heurii tik yang penting, yakni untuk mengorganisasi hasil penemuari ilmiah ke'dalam suatu kerangka pengetahuan yang kompak.- Sebagai contoh, diteorikan bahwa efektivitas pengajaran dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan guru dalam menerapkan reinforcement pada saat yang tepat. Prinsip ini memang penting. Tapi persoalannya ialah bagaimana meng-kombinasi mereka sehingga menjadi satu kesbtuan yang erat. Para teoritikus metode mengajar mungkin mengorganisasikan teori reinforcement menjadi seperangkat kontruk teoritis dan hukum-hukum yang lebih ke cil, dan kemudian, mengintegrasikan kesemuanya itu dengan apa yang. mereka ketahui tentang prinsip-prinsip belajar.
2. Empat Fungasi Teori
Tujuan penelitian ilmiah, termasuk ilmu keolahragaan; dalam rumusan yang sangat umum ialah untuk mengembangkan pengetahuan baru. Tapi, tujuan yang febih spesifik dari ilmu pengetahuan dapat dikatakan, terdiri atas empat, yaitu: (1) menggambarkan, (2) meramalkan.. (3) mengontrol, dan (4) menjelaskan. Seperti halnya, par a ilmuan di bidang lain, para ilmuan di bidang ilmu keolahragaan jugs sangat tertarik untuk menggambarkan gejala yang da¬lam hat ini adalah gejala perilaku manusia dalam konteks olahraga. Masa¬lah yang khas dalam pengembangan ilmu keolahragaan antara lain pe¬ngembangan instrumen yang akurat untuk menggambarkan gejala yang spesifik. Karena itu, pengembangan ilmu keolahragaan tergantung pada kemampuan para ahli untuk secara cermat melukiskan gejala melalui pe¬makaian instrumen yang teliti dalam rangka mengidentifikasi beberapa aspek kuantitatif atau,kualitatif. Alas dasar deskripsi yang cermat, ada kemungkinan untuk membuat prediksi. Karena itu, tujuan ilmu pengeta¬huan yang kedua ialah membuat prediksi.
Prediksi ialah satu fungsi yang unik dari ilmu pengetahuan. Prinsip¬prinsip dari kinanthropometry misalnya, menjelaskan bahwa terdapat kaitan antara bentuk tubuh dengan prestasi olahraga. Lebih spesifik lagi, terdapat korelasi antara tinggi lompatan dan tinggi badan. Jadi, faktor tinggi badan dapat dipakai sebagai prediktor prestasi lompat tinggi. Con¬toh tersebut melukiskan penggunaan faktor tinggi badan di satu pihak untuk memprediksi ketinggian lompatan seseorang.
Berdasarkan kaitan antara dua gejala atau sering disebut dalam istilah variabel, seorang ilmuan dapat memprediksi dan sekaligus mengontrol gejala tertentu. Dia dapat mengontrol variabel tertentu yang akan berpe¬ngaruh terhadap variabel lain. Sebagai contoh, seorang psikolog dapat menempatkan sebuah elektrode dalam otak seekor tikus untuk menen¬tukan apakah faktor tersebut mempengaruhi kegiatan otak tikus. Con¬toh lain, seorang ahli sport medicine atau fisiologi olahraga dapat mema-nipulasi metode tertentu untuk melatih, katakanlah metode fartlek un¬tuk meningkatkan stamina. Jika atlet yang mengikqti latihan dengan me¬tode fartlek 'menunjukkan peningkatan stamina, maka dapat disimpul- kan metode fartlek, dapat dipakai untuk "mengontrol" perkembangan stamina.
Fungsi keempat dari ilmu pengetahuan ialah menjelaskan. Fungsi ini, mungkin dapat dikatakan sebagai fungsi yang paling penting dan . se¬bagai tujuan akhir. Seorang pelatih yang mahir misalnya, mungkin dapat memberikan latihan yang efektif, karena dia memiliki banyak pengalaman. Namun dia mungkin tidak dapat menjelaskan gejala yang dihadapinya. Sebaliknya, seorang . ahli dalam ilmu keolahragaan dapat membantu menjelaskan gejala-gejala yang muncul dalam praktek kepelatihan. Dengan kata lain, fungsi penjelasan mencakup ketiga fungsi yang telah diuraikan tadi, yakni sekaligus menggambarkan, mengontrol., dan memprediksi.
g. Posisi Teori Bolajar Keterampilan Motorik
Dalam beberapa bagian terdahulu telah diurai(an beberapa elemen yang membangun kerangka ilmu keolahragaan. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa ilmu keolahragaan itu merupakan sebuah konstelasi dari disiplin ilmiah yang mengandung seperangkat teori sebagai sebuah sistem di mana di dalamnya terdapat hukum-hukum dan konstruk. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat lintas disiplin, kita mengakui ilmu keolahragaan memang masih muds sehingga masih membutuh¬kan waktu untuk menjelma menjadi ilmu yang mapan kedudukannya. Sehubungan dengan p6maha-man terhadap ilmu keolahragaan sebagai sebuah konstelasi disiplin ilmiah, yang menjadi persoalah berikut ialah di mana kedudukan teori belajar ketrampilan gerak yang dalam istilah asing di kalangan ahli di Amerika Utara disebut motorlearning. Apakah teori itu termasuk ke dalam psikologi olahraga atau masuk ke dalam sport pedagogy.
Kecenderungan perkembangan kajian terhadap perilaku motorik se¬karang ini meliputi: (1) kontrol motorik (motor control), (2) belajar motorik (motor learning), dan (3) perkembangan motorik (motor development). Ketiga wilayah tersebut tercakup dalam istilah umum yaitu motorbehavior Yang dalam makalah ini kita sebut saja perilaku motorik. khususnya tentang perkembangan sejarah penelitian dalam bidang kontrol motorik dan belajar motorik, maka teori belajar mo¬torik mula-mula dikaji dari dua pendekatan yang terpisah dan tanpa ko-munikasi satu sama lain, yakni pendekatan neuro-fis"iolodis dan pende¬katan psikologi. Di Amerika misalnya, integrasi kedua pendekatan itu ba¬ru setelah tahun 1970-an. Atas dasar uraian singkat terseb ut, maka do-pat dikatakan teori belajar motorik atau teori kontrol motorik mulai ber¬kembang sebagai disiplin yang independen yang menghasilkan konsep dan; teorinya sendiri. Namun jika ditinjau dari kegunaan praktis, teori ter¬sebut ditrapkan dalam' bidang pengaiaran.atau kepelatihan. Karena'iu. bisa disebut sebagai bagian dari psikologi .belajar atau sport Pedagogi
Uraian tersebut lebih condong menunjukkan sifat dari ilmu keolahra¬gaan sebagai lintas disiplin.-Jadi, mungkin saja teori belajarketerannpilan motorik diklaim sebagai subbagian dari psikologi olahraga jika ditinjau da- ri anal-usul konsep belajar dan teori-teori belajar tradisional yang dicang- kok Dan mungkin pula diklaim sebagai subbagian dari sport pedagogy ji¬ka ditinjau dari peneeapa'n teori belajar dan pengembangannya yang se¬cara langsung memanfaatkan fakta-fakta dari situasi pedagogik dalam konteks olahraga. Kesemuanya itu tak perlu dipertentangkan.
h, Proses Pembangunan Teori
Telah dijelaskan di muka, tujuan akhir dari penelitian ilmiah adalah menemukan suatu teori yang kelak memiliki empat fungsi yaitu meng¬gambarkan, meramalkan, mengontrol, dan menjelaskan suatu gejala. Dalam bagian akhir Bab II ini akan kita jelaskan lebih lanjut proses pem¬bangunan teori. Hal ini penting untuk dipahami karena sering sekali para mahasiswa mengacaukan pengertian konsep, hukum, dan teori. Untuk itu akan kita jelaskan beberapa tingkat konseptualdari ilmu pengetahuan yakni: (1) observasi dan fakta; (2) hukum; (3) tebrl;. dan'(4) model. Satu persatu dari keempat tingkatan tersebut akan dijelaskan sebagai be¬rikut:
1. Tingkat 1 : Observasi dan Pakta.
Yang merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan adalah observasi ter¬hadap objek yang diteliti. Pada tingkat ini yang dilakukan oleh para pene¬liti ialah mengumpulkan data tentang gejala yang dipelajari dengan mempergunakan prosedur.penguku ran atau pengetesan. Hal itu dilaksa¬nakan secara cermat dan sistematik. Para ilmuan biasanya melakukan beberapa kali observasi atau pengamatan. Dan bisa terjadi, suatu objek yang sama jika*cliamati oleh dua orang misalnya. meskipun dalam situasi yang sama akan menghasilkan data yang berbeda. Hal itu mungkin terja¬di karena mereka -mempergunakan prosedur yang berbeda atau masih belum dibakukan. Manakala observasi telah memperoleh konsensus di kalangan masyarakat ilmiah, hasil observasi itu disebut fakta.
Tahap pertama ini sangat penting karena,merighasilkan bahan men¬tah bagi.pembangunan teori. Kesalahan yang terjadi dalam pengumpul¬an data tentu akan menghasilkan kesimpulan yang me!eset. Dengan sendirinya hal semacam itu akan menghasilkan teori yang kurang dapat diandalkain. Sementara itu, fakta-fakta yang dihimpun itu dijabarkan me¬lalui prosedur perigukuran btau pengumpulan data. Ada data yang di¬nyatakan secara kuantitatif (misalnya, "Si Abu melempar bola sejauh 25 ml-dan 'ada Pula yang dinyatakan secara kualitatif (misalnya "Koordinasi gerakan Abu dalam melempar bola balk sekali"). Da!am *situasi tertentu, fakta-fakta yang diha , ~apkan mudah dikumpulkan * (misalnya, menghitung jumlah pengunjung pertunjukan dalam suatu ruangan), sementara da¬lam situasi lain fakta-fakta itu agak sukar diperoleh karena,membutuh¬kan kecermatan bahkan waktu yang cukup banyak. Misalnya saia, bagai¬mana interaksi guru dan murid dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas merupakan objek penelitian yang memerlukan kecermatan dan waktu yang cukup untuk mempelaiarinya. Namun d mikian,-betapapun sulit¬nya suatu studi, tujuan pokoknya, per-tama-tams adalah merekam data tentang perilaku objek yang sedang diteliti.
Pada tingkat pengumpulan data, kita akan mengenal istilah variabel, Jika data akan dikumpulkan atau suatu fenomena diamati, maka objek yang diamati itu ditempatkan dalam suatu kontinuum—baik yang rill maupun yang abstrak-yang mencerminkan suatu dimensi. Sebagai contoh, be¬rapa jarak lemparan seseorang, hal itu dinyatakan dalam nilai-nilai nume¬rik yang.menunjukkan ukuran panjang. Gejala tentang berat suatu objek misalnya, kita nyatakan dalam ukuran berat, atau seberapa banyak kesa¬lahan (error) dalam penampilan gerak seseorang kita nyatakan dalam di¬mensi kecermatan (accuracy). Dimensi-dimensi semacam itu disebut variabel. Contoh lain: badan misalnya, tidak dapat disebut sebagai variabel. Tapi berat badan dapat disebut sebagai variabel karena berat badan itu sendiri dapat dinyatakan dalam suatu dimensi.
Variabel dapat dibagi menjadi dua macam: (1) variabel kontinus, dan (2) variabel diskrit. Secara konseptual, variabel. kontinus dapat memiliki beberapa (jumlah real) nilai. Perbedaan antara * beberapa "point" yang berurutan dalam dimensi dibatasi oleh kecermatan tehr)ik pengukuran. Sebagai contoh, betapa sulitnya membaca milimeter alai pengukur hingga .1/10 mm, namun hal itu secara konseptual bisa dinyatakan dalam simbol. Variabel diskrit hanya memiliki nilai diskrit,. seperti 'ya". "tidak", atau "baik" "buruk". Kedua nilai ini bersifat ekslusif. Kedua variabel itu juga disebut dikhotomi. Dan, bisa juga disebut variabel nominal.
Variabel kontinus selanjutnya dapat dibagi*-menjadi tiga kategori: ordinal, interval, dan ratio. Variabel ordinal adalah variabel yang dinyata disebut sebagai variabel bebas. Sebagai faktor yang dicobakan, bisa saja terdapat beberapa sub-variabel seperti cara latihan yang diterapkan, fre- kuensi latihan per minggu, waktu hari (pagi atau sore) dan sebagainya. Sebelum latihan dimulai selama periode tertentu, katakanlah 3 bulan, terlebih, dahulu tingkat kekuatan otot anak (misalnya dibatasi kekuatan otot tungkai) diukur, Selama percobaan sedapat mungkin peneliti meng¬usahakan agar semua anggota yang dilatih hadir secara teratur dan men¬dapat perlakuan, yang sama. Akhirnya, setelah mass latihan berakhir, lalu diadakan pengukuran dengan alas yang sama dan prosedur yang sama terhadap kekuatan otot tungkai anak-anak yang dilatih. Desain semacam itu disebut pretest-post test design dengan kelompok tunggal. Jika ter¬dapat peningkatan yang bi2rarti dalam hat kekuatan otot tungkai setelah dibandingkan rata-rata kekuatan otot tungkai sebelum dan sesudah ma¬ss latihan, maka dapat dikatakan, peningkatan itu disebabkan oleh latih¬an weight training. Namun demikian, desain semacam itu ada kelemah¬annya, karena dapat dipengaruhi oleh faktor kematangan anak, keter¬biasaan melakukan tes atau faktor latihan lain yang tak terkontrol. Per- soalan ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam buku ini karena merupa¬kan bagian dalam metode penelitian.
Eksperimen dapat dilakukan di laboratorium atau dalam kondisi ala¬miah. Beberapa masalah sukar diteliti dalam kondisi laboratorium, se¬hingga variabel bebas itu dibiarkan beroperasi dalam kondisi alamiah. Misalnya saja, apakah ada pengaruh lingkungan di pedesaan dan di per¬kotaan terhadap perkembangan kesegaran jasmani anak-anak di seko¬lah dasar, sukar diteliti dalam kondisi laboratorium, sehingga terpaksa interpretasi ilmiah dilakukan bukan dalam kondisi eksperimen yang se¬benarnya. Tapi analisis tentang efek suatu tehnik lompat tinggi terhadap prestasi lompat itu sendiri misalnya, dapat dianalisis dalam kondisi labo-ratorium. Pelaksanaan' eksperimen yang berlangsung dalam kontrol yang kurang ketat disebut pseudo-eksperimen.
2. Tingkat 2 Hukum-Hukuin
Hukum adalah pernyataan umum yang menggambarkan (atau me¬rangkum) penemuan dalam pengertian bahwa'ada suatu hal yang lebih umum dari penemuan yang asli. Barangkali akan lebih jelas jika diutara- kan dalam pengertian spesifik. Sebuah hukum adalah suatu pernyataan yang menggambarkan suatu keterkaitan atau dependensi yang ajeg antara sebuah variabel bebas dan t-ariabet terikat. Hukum itu sendiri diperoleh dari proses induksi yang biasanya melibatkan proses generalisasi yakni penyimpulan dari fakta spesifik ke prinsip-prinsip, yang lebih umum,
Hukum itu terbangun melalui sejumlah penelitian. Bahan baku pe¬nyusunan hukum-hukum adalah kesimpulan umum atau generalisasi yang diperoleh dad penelitian. Mungkin saja terjadi, penelitian yang baru mengungkapkan fakta -baru. Beberapa peneliti dapat menghasilkan hukum-hukum yang berbeda meskipun obyek yang ditelitinya sama. Se¬tiap hukum bersifat tentatif, karena terbuka untuk diuji kembali oleh ke- giatan penelitian berikutnya. Perlu dipahami, hukum tidak sampai men¬jelaskan atau memahami suatu gejala, tapi hanya sampai taraf memberi¬kan suatu deskripsi umum atau rangkuman yang bersifat umum. Hu¬bungan antara hukum clan observasi dalam kegiatan ilmiah.
3. Tingkat 3 Teori
Teori dibangun melalui beberapa tahap. Pertama-tama, si peneliti merumuskan seperangkat konstruk hipotetis yang disebut sebagai "bahan baku pembangun" sebuah teori. Sebagai contoh adalah teori atomik; bahan baku pembangun teori itu adalah atom, mulekul, elek¬tron, dan proton. Pada tahun 1930-an ketika teori atomikdikembangkan, para ahli fisika tak dapat "melihat" secara langsung olemen-elemen ter¬sebut, sehingga elemen-elemen itu diciptakan dalam imaginasi para teo¬ritikus. Dalam teori belajar ketrampilan Tiotorik misalnya kita jumpai be¬berapa konsep dan konstruk.
Setiap konstruk dijabarkan dalam definisi tertentu yang sifatnya ma-sib kasar. Misalnya konsep "ability" diartikan sebagai satu keadaan yang stabil dari sistem motorik. Dengan kata lain, konstruk didefinisikarl ha¬nya dengan seperangkat postulat yang akan dibicarakan sebagai berikut. manusia. pengadaan biaya pembinaan yang memadai, termasuk fasilitas olahraga yang cukup Kesenjangan tersebut juga tercermin dalam penbadaan biaya bembi¬naan untuk olahraga-prestasi dan olahraga pendidikan di sekolah-seko¬lah.
BAB III PENUTUP
Proses pembinaan olahraga harus dipahami sebagai sebuah sistem yang kompleks, sehingga masalah-masalah yang terdapat di dalamnya p erlu ditelaah dari sudut pandang yang lugs. Gejala dalam kegitan olahra¬ga tidak semata-mata dipandang dari aspek bio-psikis, tapi jugs dari aspek sosial-budaya. Karena itu pula, prestasi olahraga merupakan se¬buah gejala majemuk gejala bio-psiko-socio-kultural.
Ada empat dimensi kegiatan olahraga: olahraga kompetitif yang menekankan kegiatan perlombaan dan pencapaian prestasi; olahrga profesional yang menekankan tercapainya keuntungan material; olahraga rekreatif yang menekankan tercapainya kesehatan rohani clan jasmani dengan terra khas seperti pencapaian kesegaran jasmani dan pelepasan ketegangan hidup sehari-hari; clan olahraga pendidikan yakni olahraga yang menekankan aspek kepend:dikan di mana olahraga merupakan alas mencapai tujuan pendidikan Persamaan umum ialah bahwa keempat dimensi olahraga tersebut memanfaatkan gerak rnanusia dalam penger¬tian umum, dan keterampilan dalam pengertian yang lebih spesifik.
Prestasi olahraga terus meningkat. Faktor-faktor yang mempengaru¬hi prestasi ialah faktor eksogen, seperti lingkungan fisik tempat berla¬tih, lingkungan keluarga yang r-riembantu membangun ambisi, clan fak¬tor endogen yakni atribut yang melekat pada diri seseorang seperti struktur anatomi, kemampuan fungsi fisiologis, dan sistem persyaraf an. serta ciri-ciri kepribadian yang bersangkutan.
Beberapa ciri masalah pokok dalam pembinaan olahraga di Indonesia ialah ketimpangan cumber daya yang dialokasi untuk kegiatan olahra¬ga pendidikan dan olahraga prestasi. kurangnya investast i1miah, Iemah¬nya manaiemen dan pendekatan parsial. Sama sekali tidak sesuai de¬ngan tuntutan olahraga modern seperti sikap m-e'nerabas atau potong kompas, rendah motif berprestasi, agresif tapi kurang fair, dan kurang bersedia untuk bekerjp keras. Olahraga kompetitif iuga mengandung'-pbtensi negatif, di samping dampak positif, sehingga gurulpelatih olahraga harus mengelola kegiatan In itu guns memperoleh manfaat yang maksimal.
Untuk memperokeh manfaat yang maksimal clan meNngkatkan efektivitas dan efisiensi pernbinaan, dibutuhkan metode ilmiah dan sema¬ngat ilmiah.
Ilmu keolahragaan yang dibangun melalui Wgiatan penelitian de¬ngan unit analisis-perilaku manusia dalam konteks olahraga merupakan interdisiplin. Di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmiah yang sating berkait, bahkan tumpang tindih. Namun demikian, masing-masing sub¬disiplin itu mengkhusus'kan diri pads wilayah masalah tertentu. Bebera¬pa disiplin ilmiah yang merupakan elemen ilmu keolahragaan ialah sport medicine, ilmu faal olahraga (exercise science), psikologi olahraga, sosiologi olahraga, bio-mekanik, kinanthropometry, sport pedagogy, ad-ministrasi olahraga, sejarah olahraga, dan filsafat-olahraga.
Masih terdapat kesenjangan antara teori dan praktek atau antara teo¬ritikus dan praktisi dalam pembinaan olahraga. Kesenjangan itu perlu di¬persempit melalui perencanaan dan strategi penyebaran informasi yang meluas. Teori yang baik ialah teori yang praktis. Tak ada yang lebih prak¬tis daripada sebuah teori yang baik, karena fungsi feori ilmiah ialah menggambarkan, memprediksi, mengontrol, dan menjelaskan. Teori itu sendiri dibangun melalui penelitian ilmiah yang sistematis dengan me-manfaatkan metode dan insirumen yang cermat untuk mengumpulkan fakta-fakta. Teori itu sendiri terbangun oleh elemen-elemen berupa konstruk dan hukum-hukum yang diperoleh dari sejumlah penelitian. Sampai seberapa jauh kebenaran teori, hat itu perlu diuji lagi melalui pe¬nelitian. Tugas peneliti bukan membuktikan suatu teori itu benaratau sa¬lah. Jika fakta yang diperoleh selaras dengan teori, maka kesimpulannya ialah fakta-fakta baru itu mendukung teori yang telah ada. Sebaliknya. jika sejumlah fakta baru tak cocok dengan teori yang ada, maka teori la¬ma itu tak dapat dipertahankan lagi lebenarannya.
Elemen terakhir dari struktur pengetahuan ilmiah ialah model. Fungsi model analog dengan fungsi feori. Perbedaannya adalah, dengan' se¬buah model kaftan antara konstruk yang abstrak divisualisasikan..
KEPUSTAKAAN
Bigge, Mol-ris L.,_ dan Hunt, Maurice P., (1969), Psycological Faountion of Education, Tokyo, John Weatherhill, Inc.
Brown, Eugene-dan Branca, Crystal F, (1988), Competitive Sports for Children and Youth, An Overview of Research and Issues, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc,
Calnoun, Donald.W. (1987), Sport, Culture, 'and Personality, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc.
Greendorfer, Susan L., dan Ylannakis, Andrew (ed)., (1981), Sociologyof Sport : Perspective, West Point : Leisure Pres.
Grupe, Ommo,Kurz, Dietrich, dan Teipel, Johanes Marcus (ed), (1972), The Scientific View of Sport : Perspective, Aspects, Issues, Neidelberg; Springererlag Berlin.
Harre Dietrich (ed.), (1982), Principles of Sport Training., Introduction to Theory and Methods, Berlin : Sportverlag.
Hart, M. Marie (ed.), (1980), Sport in the Socio-Cultural Process, Dubuque WM. C. Brown Company Publishers.
Houre, H., Kleinbeck, V., dan Schmidt, K.H. (ed.), (1985), Motor Behavior: Programming, Control, and Acqusition, Berlin : Springer – Verlag.
Haywood, Kathleen M., (1986), Life Span Motor Development, Champaign : Human Kinetics Publisherss, Inc.
Hilgard, Ernest R., dan Bower, Gordon H., (1977), Theories of Learning, New Delhi, Prentice-Hall of India Private Limited.
Huizinga, Johan, Homo Ludens : A Studyof the Play Element in Culture, Boston : The Bacon Press.
Kirkendall, Don R., dan Gruber, Jospeh J., dan Johnson, Robert E., (1987)
Measurement and Evaluation for Physical Education, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc.
Krech, David, Crutchfield, Richard S., dan Balaachey, Egerton L., Individual in Society : A text Book of Social Psychology, Tokyo Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd.
Kuhn, Thomas S., (1970) The Structure of Scientific Revolution, Chicago The University of Chicago.
Magill, Richard A., (1985), Motor Learning, Conceps and Applications, Dubuque : WMC Brown Publishers.
Morgan, William J., dan Meier, Klaus V. (ed), (1988), Philosophic Inquiry in Sport, Champaign : Human Kinetics Publishers, Inc.
Oxendine, Joseph B., (1968), Psychology of Motor Leaning, Englewood Cliffs : Prentice-Hall, Inc.,
Oxendine, Joseph B., (1,964), Psychology of Motor Learning, Englewood Cliff, Prentice-Hall, Inc.
Pieron, Maurice.dan George, Graham, (ed.), (1986). Sport Pedagogy, Champaign : Human Kinetics Pubiishers, Inc.
Rink, Judith E., (1985). Teaching Physical Education for Learning, St Louis, Toronto, Santa Clara : Mosby College Publishing.
Rusli Lutan, (1984), Beberapa Isyu dalam Olahraga, Makalah.
Rusli Lutan, (1984), Menuju ke arah Filsafat Olahraga danImplikasinya terhadap Pembinaan, Makalah.
Rusli Lutan, (1986), Identifikasi bakat dalam Olahraga, Makalah.
Rusli Lutan, (1987), Strategi Difusi Inovasi dalam Proses Pembangunan Olahraga Nasional, Makalah.
Sage, George H. (1984), Motor Learning and Control, Dubuque : Wm. C. Brown Publisehr.
Shaw, marvin E., (1981), Group Dynamics : The Psychologyof Small Group Behavior, New York : McGraw-Hill Book Company.
Schmidt, Richard A., (1982). Motor Control and Learning, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc.
Schmidt, Richard A., (1988), Motor control and Learning, Champaign Human Kinetics Publishers, Inc,
Singer, Robert N.. (1968), Motor Learning and Human Performance, New York he Macmillan company.
Stallings, Loretta M., (1980), Motcr Skills, Development and Learning, Washington DC. Wm C. Brown Company.
Stallings, Lorretta M., (1982), Motor Learning : From Theory to Practice, Washington DC: Wm C. Brown Company.
The Committee of Olympic Scientific Congress, (1984), Scientific Program Abstracts, Uregon; University of Uregon.
Thomas, Jerry R., dan Nelson, Jack K., Introduction to Research in Health, Physical Education, Recreation, and Dance, Champaign : Human Kinetics Publishers, Inc.
Wade, M. G. (ed.), (1986) Motor Skill Acquisition of Mentally Handicapped, Amsterdam : Elsevier Science Publisher.
Whiting, H. T. A., (1975), Concepts in Skill Learning, London : Lepus Book. Wittrock, Merlin C. (ed.), '(1986), Handbook of Research on Teaching, New York : Macmillan Publishing Company.
tes
BalasHapusbagus bgt kang salam saya
BalasHapus